Sabtu, 14 Mei 2011

MC


TINJAUAN TERHADAP PENGATURAN HUKUM HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN DIWILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI PEKANBARU

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat
Untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S1)
Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau


Oleh :
Marghareta Charolin
NPM: 071010048

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2011

Persembahan

 

Teristimewa untuk yang terhormat

Ayahanda Drs.H.Chairul Bahri,MM dan Hj. Indrayati Ningsih Taher atas segenap ketulusan, kasih sayang, nasihat, motivasi yang tidak henti-hentinya untuk mendidik ananda hingga saat ini.

 

Saudara-saudaraku tersayang

Kakanda Mira Chamelia, Sh, Kakanda Billy Chrisye, Nia Rahmasari,Se, Adinda Bustanil Chahfi dan Adinda Mahficha Zanna yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

 

Yang terkasih

Kakanda Reksa Moraldhy yang selalu memberikan motivasi yang tidak henti-hentinya agar terus berkarya


Abstrak

Perkawinan ialah hubungan pertalian yang mengikat antara laki-laki dan perempuan dengan mengucap satu janji atas nama Tuhan YME menjadi suatu keluarga. Keluarga ialah sekumpulan orang yang mempunyai ikatan darah antara anggota keluarga yang terdiri dari suami, isteri dan anak. Keluarga yang dijalankan memiliki banyak permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara damai sehingga berakibat kepada perceraian yang mengorbankan anak-anak mereka.

Anak merupakan anugerah yang terindah bagi semua orang tua, namun belum semua orang tua juga yang dapat menghayati apa makna dari anugerah tersebut, karena masih banyak nya orang tua yang menggunakan kekerasan baik fisik, emosi, maupun finansial dalam memberikan pengasuhan kepada anak-anaknya. Meskipun mereka melakukan semua itu atas nama tujuan baik, tetapi bagaimanapun tindakan kekerasan atau emosi untuk kepentingan pribadi dari kedua orang tua itu sendiri menggambarkan bahwa orang tua kurang menghayati anak sebagai anugerah, atau sebagai investasi yang harus berkembang sesuai yang di inginkan orang tuanya.

Didalam penelitian ini masalah pokok yang diteliti adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap hak asuh anak dibawah umur di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru. Bagaimana pelaksanaan hak dan kewajiban orangtua terhadap hak asuh anak dibawah umur setelah terjadinya perceraian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.

Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penellitian observational research, dengan cara survey yaitu penelitian yang langsung dilakukan dilapangan terhadap objek penelitian dengan menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara. Ditinjau dari sifatnya, maka penelitian ini bersifat deskriptif karena penelitian inibermaksud memberikan gambaran secara jelas dan terperinci tentang permasalahan yang menjadi pokok penelitian.

Hasil dari penelitian yang dilakukan adalah: majelis hakim telah menjalankan aturan-aturan hukum untuk dituangkan kepada pasangan suami isteri sesuai yang majelis hakim ketahui yang bersumber dari Undang-undang No 1 Tahun 1974, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-undang No 23 tentang Perlindungan anak. Setelah terjadinya perceraian hak asuh anak jatuh ke pihak ibu dan bapak, secara garis besar jatuh ke pihak ibu. Karena anak yang masih berusia dibawah umur sangat memerlukan perhatian dari kedua orangtuanya terutama pihak ibu, karena secara psikologis ibu lah yang bisa mendidik dan merawat anak nya lebih dianggap paling mengerti dan lembut dalam penyampaian kasih sayang daripada bapak. namun akibat dari perceraian kedua orang tua hak-hak anak banyak terlantarkan dan terabaikan,sedangkan pada hak dan kewajiban orang tua terhadap hak asuh anak dibawah umur belum terlaksanakan secara penuh ,dikarenakan adanya keterbatasan antara salah satu orang tua yang tidak memiliki kuasa penuh untuk bertemu anaknya, sehingga menimbulkan masalah baru.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia- Nya, dan telah memberikan kesempatan penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “ Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru” sesuai dengan rencana yang diharapkan, shalawat beriring salam tak lupa pula penulis sampaikan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW, dengan ucapan “Allahumma shalli a’la Muhammad Wa’alaihi Wassalam” semoga kita mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin Ya Rabbal Alamin.
Penelitian ini adalah salah satu konsekuensi yang harus ditempuh, termasuk oleh penulis untuk menyelesaikan pendidikan Ilmu Hukum dan memeperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
Begitu kompleks kiranya tantangan dan rintangan yang penulis hadapi dalam penelitian ini, namun hal itu penulis jadikan pegangan untuk dapat berbuat lebih baik, apalagi banyak pihak yang baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu penulis menyusun penelitian ini. Untuk itu tidaklah terlalu berlebihan kiranya jika dengan segala kerendahan hati, penulis haturkan ungakapan terimakasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat :
1.    Bapak Prof. Dr. H. Detri Karya, S.E., M.A, selaku rector Universitas Islam tiau yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengenyam pendidikan di Universitas Islam Riau.
2.      Bapak Zulherman Idris, S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Riau dan selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan petunjuk dan arahan dalam penelitian ini.
3.      Bapak Drs. H. Abdullah, S. M.Hum, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan petunjuk dan arahan  dalam penelitian ini.
4.      Bapak Abd. Thalib, S.H.,M.C.L, selaku Kepala Bagian Himpunan Mahasiswa Perdata Dan Bisnis yang telah memberikan petunjuk dan arahan dalam penelitian ini.
5.      Bapak Efendi Ibnu Susilo, S.H., M.H, selakuPembantu Dekan I Fakultas Hukum, Bapak M. Musa, S.H., M.H, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, dan Bapak Admiral S.H.,M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang telah memberikan petunjuk dan arahan dalam penelitian ini.
6.      Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau atas segenap ilmu yang telah diberikan, semoga menjadi amalan bagi Bapak dan Ibu semua serta menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
7.      Bapak dan Ibu pimpinan beserta Staf Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Riau yang telag memebrikan pelayanan dengan baik, sejak awal penulis mengikuti pendidikan hingga saat ini.
8.      Bapak Zulkarnaen S.H.,M.H, dan Bapak Admiral S.H., M.H atas segenap perhatian dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.
9.      Sahabat-sahabat penulis : Handini shaputri, Nurmauli, Marina, Fifiyani Fatmawati, Nurhera, Fauzi Akmal, Arief Budiman, Rendi Dian Perdana, Jasmadi dan Kakanda Reksa Moraldhy yang telah memeberikan dukungan kepada Penulis dan telah banyak membantu penulis dalam pembuatan penelitian ini, serta teman-teman dikelas E, dan teman-teman HIMADATANIS yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
10.  Serta kepada segenap pihak yang tidaklah dapat penulis sebutkan satu persatu mengingat keterbatasan yang ada.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, penulis menyadari banyak nya kekurangan penelitian ini, meskipun berbagai upaya perbaikan telah ditempuh. Kepada semua pihaklah akhirnya penulis harapkan guna perbaikan pada masa mendatang.
Pekanbaru, 15 April 2011
Penulis,
Marghareta Charolin













DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………i
PERNYATAAN BAHWA SKRIPSI HASIL KARYA SENDIRI………………….ii
BERITA ACARA PERUBAHAN JUDUL…………………………………………iii
TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI………………………………………………..iv
BERITA ACARA UJIAN MEJA HIJAU/SKRIPSI………………………………..v
SK PENUNJUKAN PEMBIMBING I……………………………………………..viii
SK PENUNJUKAN PEMBIMBING II……………………………………………..ix
ABSTRAK…………………………………………………………………………..x
KATA PENGANTAR………………………………………………………………xi
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….xiv
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………….xvi
BAB I                         PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah…………………………………………………………..1
B.  Masalah Pokok…………………………………………………………………..11
C.  Tinjauan Kepustakaan……………………………………………………….......11
D.  Tujuan Dan Manfaat……………………………………………………………..17
E.   Metede Penelitian………………………………………………………………..18
BAB II            GAMBARAN UMUM
A.  Gambaran Umum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian….…..….23
B.    Gambaran Umum Hak Dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur Dalam Aspek Hukum Perdata Barat…………………………….36
BAB III          HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.  Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru……………………48
B.  Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Terjadinya Perceraian…………………………………………….62
BAB IV          PENUTUP
A.   Kesimpulan………………………………………………………………………78
B.   Saran……………………………………………………………………………..80
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….81
LAMPIRAN
























DAFTAR LAMPIRAN


Lampiran 1      Wawancara……………………………………………………….    83
Lampiran II     Wawancara……………………………………………………….    85






















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk sosial ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari lahir hingga dewasa manusia diasuh dengan belaian kasih sayang hingga benar – benar mampu untuk hidup berdiri menjalani kehidupanya. Manusia diciptakan berpasang – pasangan untuk menjalani kehidupan hingga menemukan titik akhir kehidupan yang bermanfaat bagi nya. Dalam kehidupan manusia di dunia ini, yang berlainan jenis kelaminnya (laki-laki dan perempuan) secara alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup bersama, atau secara logis dapat dikatakan untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan suatu keluarga / rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera dan abadi, inilah melatarbelakangi adanya suatu hubungan yang disebut dengan keluarga yang terdiri dari suami,istri dan anak..
Masyarakat Indonesia  tergolong heterogen dalam segala aspeknya, dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni : agam Samawi dan agama non Samawi ; agama Islam, Hindu, Budha, Krieten protestan dan Katholik. Keseluruhan agama tersebut memilki tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertical maupun horizontal ; termasuk didalamnya tata cara perkawinan.
Tujuan dari perkawinan ialah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi , agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.
Hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama tersebut satu sama lain ada perbedaan akan tetapi tidak saling bertentangan. Adapun di Indonesia telah ada hukum perkawinan yang secara otentik diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Lembaran Negara RI, Tahun 1974 Nomor 1. Adapun penjelasan atas Undang-undang tersebut dimuat didalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 yang didalam bagian penjelasan umum diuraikan beberapa masalah mendasar.
Bagi suatu Negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita.
Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara dan berbagai daerah seperti berikut :
a.       Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresipiir dalam Hukum adat;
b.      Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c.       Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Krieten berlaku Huweliksordonnantie Christen Indoneisa (s. 1933 No. 74);
d.      Bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Denagn sedikit perubahan.
e.       Bagi orang-orang Timur asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka.
f.       Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undnag Hukum Perdata.
Perkawinan ini terdapat berbagai macam kajian,yaitu :
-    Proses perkawinan
-    Hak dan kewajiban suami dan istri
-    Sebab akibat perkawinan
Hal yang dapat ditarik dan sangat menarik dari kajian di atas ialah sebab dan akibat perkawinan. Adapun yang menjadi sebab akibat perkawinan terdapat 3 (tiga hal) :
a.       Hubungan suami dan isteri
b.      Harta kekayaan
c.       Anak
Perceraian adalah suatu malapetaka, tetapi suatu malapetaka yang perlu untuk tidak menimbulkan malapetaka lain yang lebih besar bahayanya. Perceraian hanya dibenarkan penggunaanya dalam keadaan darurat untuk tidak menimbulkan mudharat yang lebih besar. Karena itu perceraian adalah pintu daruratnya perkawinan guna keselamatan  bersama. untuk itulah Tuhan mengadakan peraturan – peraturan perceraian di samping peraturan perkawinan atas dasar ini pulalah Negara Republik Indonesia mengatur hal – hal yang tidak diatur hukumnya dalam agama tentang perceraian disamping perkawinan demi kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman keluarga, masyarakat dan Negara[1].
Dalam pembahasan ini difokuskan kepada pemeliharaan anak akibat keadaan suami istri dalam suatu keluarga yang pecah, terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sangat memuncak, dan tidak dapat didamaikan lagi, yang berakhir dengan perceraian. Akibat perceraian, terjadilah perselisihan mengenai pemeliharaan anak. Suami menghendaki hak asuh di berikan kepadanya, demikian pula sang istri[2].
Pemeliharaan/pengasuhan merupakan hak dari setiap anak,dan orang yang paling berkewajiban mengasuh dan memelihara anak adalah ayah dan ibunya[3].
Akibat dari timbulnya perceraian dapat mengakibatkan masalah bagi psikologis dari seorang anak. Anak – anak juga mengalami banyak perubahan dalam hidup mereka setelah perceraian yang terpenting, mereka memiliki perasaan dan hal ini jarang diperhatikan oleh orang – orang dewasa.orang tua mungkin adalah orang tua sangat baik tetapi sangat lelah emosinya atau terganggu untuk dapat mengerti kebutuhan anak – anak mereka disekitar waktu perpisahan[4].  Dalam Undang - undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41 dengan tegas menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya.semata – mata berdasarkan kepentingan si anak. Dan selanjutnya terdapat pada Pasal 45 menghendaki agar kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka sebaik – baiknya. Dengan demikian anak – anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan, pendidikan, pelayananan dari orang tuanya. tapi dalam praktek tidak adanya penerapan yang dilaksanakan oleh kedua orang tua tersebut.
Anak adalah sebagai salah satu unsur dari suatu keluarga, mengalami hubungan-hubungan antara pribadi yang pertama-tama dalam keluarga,misalnya hubungan anak dengan orang tuanya, anak dengan sesama anak yang lain, anak dengan anggota kerabat orang tuanya (ibu atau ayahnya)
Kalau kita menyadari bahwa orang tualah yang wajib menanamkan dan mengajarkan norma–norma, dan perkembangan serta kehidupan anak sebagian besar berada di lingkungan keluarga, maka jika tidak adanya ikatan emosional ini berarti tidak terciptanya iklim atau suasana kehangatan atau kasih sayang[5]. Dapat disimpulkan bahwa perceraian ini bisa menjadi pemicu terganggunya psikologis terhadap anak jika orang tua tidak benar–benar bisa menjaga hubungan emosional yang diterapkan kepada anak tersebut serta lancarnya hubungan komunikasi antara anak dan kedua orang tua.
Keutuhan orang tua (ayah dan ibu) dalam sebuah keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu anak untuk memiliki dan mengembangkan dasar – dasar disiplin diri. Keluarga yang utuh memberikan peluang besar bagi anak untuk membangun kepercayaan terhadap kedua orang tuanya sehingga anak dapat merasakan adanya arahan, bimbingan, dan bantuan agar memudahkan anak untuk menangkap makna dari upaya yang dilakukanya[6]
Secara garis besar anak mempunyai hak–hak yaitu hak untuk memperoleh perlindungan khusus,kesempatan dan fasilitas yang memungkin kan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir,mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan secara khusus jika mereka cacat, tumbuh dan di besarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri mendapat pendidikan  serta memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia – nyiakan anak[7].
Hak anak untuk mendapat pemeliharaan dan pendidikan sebaiknya kewajiban anak untuk menghormati orang tua, memberi tunjangan nafkah bila orang tua tidak mampu lagi di hari tuanya bekerja untuk menghidupi dirinya.
Setelah perceraian itu terjadi dapat ditentukan kedudukan seorang anak tersebut jatuh kepada orang tua, baik pihak ibunya maupun pihak ayah. Yang menjadi persoalan adalah anak–anak di bawah umur, yakni anak yang belum berakal.siapakah antara suami atau istri yang berhak memelihara dan mengasuh anak tersebut, yang dalam istilah hukum islam disebut hak hadlanah.
Persepsi yang keliru beranggapan bahwa hak asuh adalah hak penuh ibunya sampai umur 12 tahun.Padahal pengadilan berada pada posisi lain, yakni ingin melindungi anak. Jadi kadang-kadang kewajiban itu dibebankan kepada bapak atau kadang–kadang kepada ibu tergantung pada pertimbangan majelis hakim dengan melihat apakah kepentingan anak itu bisa terpenuhi jika anak bersama bapak ataukah bersama ibunya.
Bagi anak–anak yang dalam keadaan tertentu dapat berada di bawah pengasuhan anak, yakni di asuh oleh seseorang atau lembaga untuk memberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan dan kesehatan. Hal ini dimungkinkan bila orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar[8].
Di dalam Kitab Undang – undang Hukum Perdata ditegaskan pada Pasal 246 bahwa setelah terjadinya perceraian terhadap kedua orang tua, masing – masing anak yang belum dewasa akan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri siapa diantara kedua orang tua yang akan memelihara si anak tersebut. Kecuali ada nya pemecatan terhadap kekuasaan orang tua. Dalam hal ini tidak dijelaskan bahwa anak yang belum dewasa berada dikekuasaan siapa secara pasti, tapi hanya menurut keputusan Pengadilan Negri dengan berdasarkan pertimbangan – pertimbangan dan di lihat dari proses terjadinya perceraian.
Pertimbangan penentuan hak asuh itu sangat komprehensif. Kalau anak sangat nyaman dengan bapaknya karena sudah bertahun-tahun dengan bapaknya, ada fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa anak sudah terpelihara sebelumnya oleh bapaknya, maka saat terjadi sengketa ada kemungkinan hanya akan keluar tambahan perintah dari Majelis Hakim bahwa memerintahkan kepada bapak si anak untuk membuka kemungkinan berkumpulnya antara anak dengan ibunya 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam. Ditambah satu lagi, yakni menghukum atau memerintahkan untuk memberikan kesempatan kepada ibu kandungnya untuk bersama dengan anaknya itu pada hari-hari yang telah disepakati atau pada hari libur. Jadi kita tidak memihak kepada siapa–siapa, hanya membebankan satu kewajiban kepada salah satu orangtua.
Adapun yang membuat penulis tertarik terhadap judul ini karena banyak nya anak-anak di bawah umur yang terlantar oleh karena perceraian orangtua nya. Setelah jatuh nya putusan hakim terhadap hak asuh anak di bawah umur ini ke tangan Si Bapak dengan mempertimbangkan agar si anak mendapat bantuan dalam segi finansial, dan pemeliharaan namun tidak di lakukan sebagaimana mestinya. Yang seharusnya anak tersebut jatuh ke tangan ibu, karena sangat mempengaruhi psikologis anak terhadap tumbuh kembangnya pola pikir dan sosialisasi anak terhadap lingkunganya hingga ia dewasa. Dengan ini penulis mengangkat judul “Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.”
Guna memberikan batasan terhadap judul penelitian ini, maka penulis menggunakan konsep sebagai berikut :
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat, sesudah menyelidiki, mempelajari dan sebagainya[9]. Tinjauan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah : suatu hasil pendapat atau kesimpulan dari mempelajari menyelidiki serta menganalisa terhadap fakta dan gejala – gejala yang terjadi di dalam masyarakat, yang dalam hal ini adalah mengenai hak asuh anak di bawah umur setelah perceraian menurut Undang – undang No 1 Tahun 1974.
Terhadap adalah kata depan untuk menandai arah[10]. Terhadap yang dimaksud disini adalah terhadap sesuatu yang akan ditinjau lebih rinci.
Pengaturan adalah proses, cara, perbuatan mengatur. Maksud dari pengaturan disini adalah mengatur tata cara bagaimana hukum memandang hak asuh anak dibawah umur.
Hukum adalah peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah[11]. Hukum yang dimaksud disini adalah peraturan yang mengatur tentang hak asuh anak di bawah umur setelah perceraian menurut Undang – undang 1974.
Hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu[12]. Hak yang dimaksud dari penelitian ini adalah wewenang untuk mendapatkan sesuatu oleh seorang anak terhadap orangtuanya atau sesuatu yang harus diterima dan dinikmati oleh seorang anak darinya.
Asuh adalah jaga; bimbing; pimpin[13]. Asuh yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menjaga, membimbing, dan memimpin oleh orang tua terhadap seorang anak.
Anak adalah generasi kedua atau keturunan pertama[14]. Anak yang dimaksud dari penelitian ini adalah anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan orang tuanya.
Di bawah adalah berada di tempat yang lebih rendah[15]. Di bawah yang dimaksud dari penelitian ini adalah posisi si anak yang berkedudukan paling rendah daripada orang tua.
Umur adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau sejak di adakan)[16]. Umur yang dimaksud dari penelitian ini adalah usia dari anak yang dilahirkan, atau dari anak tersebut dilahirkan sampai sekarang.
Akibat adalah dampak dari adanya sebab, maksud akibat disini adalah akibat dari perceraian bagi anak yang di bawah umur.
Perceraian adalah putusnya tali perkawinan oleh seorang laki–laki dan wanita baik itu karena meninggalnya salah satu diantaranya,maupun dari putusan pengadilan.
Diwilayah adalah daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan, dsb); lingkungan daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan)[17]. Maksud diwilayah disini adalah tempat terjadinya hak asuh anak adibawah umur akibat perceraian.
Pengadilan Negeri adalah dewan atau majelis yang mengadili perkara;mahkamah; badan peradilan pada tingkat pertama yang berkuasa mengadili semua perkara penyelewengan hukum di daerah hukum nya[18]. Maksud dari Pengadilan Negeri disini adalah tempat mengadili terjadinya perkara hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian.

B. Masalah Pokok
Berdasarkan uraian yang penulis kemukakan pada latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah pokok dalam penelitian ini :
1.      Bagaimana tinjauan hukum terhadap hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian diwilayah hukum Pengadilan Negeri.
2.      Bagaimana Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak  di Bawah Umur Setelah Terjadinya Perceraian.

C. Tinjauan Pustaka
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun azas-azas perkawinan dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut :
1.    Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan keperibadianyya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.
2.    Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing dan kepercayaanya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.    Undang-undang ini menganut azas monogamy. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang.
4.    Undang-undang ini (UUD No 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975) menganut prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5.    Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka Undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar perceraian.
6.    Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri[19].
Salah satu hal yang paling fatal akibat perkawinan adalah perceraian, perceraian menurut Undang – undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan menyebutkan :

Pasal 41
a.          Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata mataberdasarkan kepentingan anak ; bilamana ada perselisihan mengenal penguasaan anak – anak, pengadilan member keputusanya;
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlu kan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.          Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan tidak ada sanksi yang ditetapkan apabila bapak tidak bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anak-anak.kenyataan memberikan gambaran bahwa sebagai akibat dari keadaan ini, maka ibulah yang memikul tanggung jawab sepenuhnya memelihara dan mendidik anak-anaknya. Kenyataan menunjukan bahwa apabila seorang ibu tidak berpenghasilan dan apabila ia tinggal didesa, ia terpaksa meninggalkan anak-anaknya di desa untuk mencari nafkah di kota atau di luar negeri.keadaan seperti ini pula yang memaksa perempuan memasuki dunia kerja yang mudah memberikan penghasilan , seperti prostitusi, mengemis, dan sebagainya. Anak-anak di desa di pelihara oleh para orangtua ibu atau keluarga ibu, yang dalam banyak hal juga tidak dapat berpenghasilan cukup. Akibatnya ialah keterlantaran anak-anak. Kalupun ibu tinggal di perkotaan. Tidak dimilikinya keterampilan yang memadai untuk mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang cukup menyebabkan pula keterlantaran anak-anak.
Diperlukan upaya atau langkah untuk tindak untuk menentukan sanksi serta pengekannya, apabila seorang bapak ingkar memberikan biaya pendidikan dan pemeliharaan anak-anaknya, dalam hal terjadi perceraian[20].

Perceraian ini sangat besar pengaruhnya terhadap anak, karena menyangkut dengan kelangsungan hidup anak tersebut, yaitu mengenai hak asuh.adapun ditegaskan di dalam kompilasi Hukum Islam tentang dalam hal terjadinya perceraian :

Pasal 105
a.       Pemeliharaan anak yang belum mummayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b.      Pemeliharaan anak yang sudah mummayiz diserahkan kepada anak ntuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya
c.       Biaya ditanggung oleh ayahnya.

Dalam hal biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayah nya juga tidak ada sanksi yang ditentukan apabila ayah ingkar melakukan kewajibanya, dan jika ibu tidak berpenghasilan maka menyebabkan keterlantaran anak-anak dibawah umur tersebut. Maka hak-hak anak sangat terabaikan baik dari orangtua maupun dari peraturan yang ada.
            Dalam hal ini terdapat perbedaan pada Kompilasi Hukum Islam, terdapat pada Pasal 105 yang merupakan pemeliharaan anak sebelum berumur 12 (dua belas) tahun adalah hak ibunya, Dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa "anak di bawah asuhan ibunya." dengan syarat Ibu dari anak tersebut tidak melanggar ketentuan sebagai orang tua. Apabila ibu tidak melaksanakan ketentuan yang seharusnya, maka hak memelihara anak dapat jatuh ke ayah. Sangat berbeda dengan anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, karena ia boleh memilih kepada siapa ia mau dipelihara, serta biaya pemeliharaan si anak, tetap menjadi tanggung jawab si ayah.
Di dalam Undang – undang No 1 Tahun 1974, tidak dijelaskan secara rinci apakah anak di bawah umur wajib atau tidak diasuh oleh ibunya. Di dalam praktek anak di bawah umur dapat jatuh ke tangan ayahnya dengan ketentuan apabila ibu dalam berjalannya rumah tangga sebelum perceraian terjadi terbukti tidak pernah memelihara atau merawat anak dengan sebagaimana mestinya. Hal itu dapat diminta keterangan dari pihak lain atau sanak saudara mereka.
Prinsip prinsip pengasuhan anak di tetapkan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 38 Undang – undang Nomor 23 Tahun 2002 yaitu :
1.      Pengasuhan anak di laksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan mkondisi fisik dan atau mental
2.      Pengasuhan anak di selenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan dan pendidikan secara berkesinambungan, serta memberikan bantuan biaya dan atau fasilitas lain untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual maupun social tanpa mempengaruhi agama yang di anut anak[21].

Kitab Undang – undang Hukum Perdata ( KUHPdt ) menerangkan pada Pasal 298 bahwa setiap anak berapa pun umurnya wajib menghormati dan menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anaknya yang masih di bawah umur. Dan telah diterangkan dalam Pasal 246 bagaimana kedudukan si anak akibat perceraian seharusnya.
Pasal 246 berbunyi :
Setelah perpisahan meja dan ranjang di ucapkan, dan setelah mendengar dan memanggil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah atau semenda dari anak – anak yang belum dewasa, pengadilan negri harus menetapkan terhadap masing – masing anak, siapakah dari kedua orang tua itu, kecuali sekiranya keduanya telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua, harus melakukan kekuasaan orang tua. Dengan mengindahkan keputusan – keputusan hakim yang dulu – dulu.dengan mana mereka kiranya pernah di bebaskan atau di pecat dari kekuasaan orang tua.
Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak.sebelum hari itu tak usah dilakukan pemberitahuan, pun perlawanan atau permohonan banding tak boleh diajukan.
Terhadap penetapan itu, si bapak atau si ibu yang tidak mendapat kekuasaan orang tua, boleh memajukan perlawanan, apabila ia atas panggilan termaksud dalam ayat kedua telah tidak dating menghadap perlawanan itu harus dimajukan dalam waktu tiga puluh harti, setelah penetapan di beritahukan kepadanya.
Si bapak atau si ibu, yang setelah datang menghadap, tidak diserahi kekuasaan orang tua,atau yang perlawanannya telah ditolak, boleh memajukan permintaan banding terhadap penetapan tersebut dalam waktu tiga puluh hari setelah hari tersebut dalam ayat ketiga.
Ketentuan dalam Pasal 230 b dan 230 c, berlaku terhadap bapak atau ibu, yang tidak diserahi dengan kekuasaan orang tua.

Pasal 246a berbunyi :
Berdasar atas hal – hal yang terjadi setelah keputusan perpisahan meja dan ranjang memperoleh kekuatan mutlak, pengadilan negri boleh mengubah penetapan – penetapan yang diberikan menurut ayat kedua pasal yang lalu. Atas permintaan kedua orang tua atau salah seorang mereka, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah kedua mereka dan para keluarga sedarah dan semenda dari anak – anak yang belum dewasa.penetapan ini boleh dinyatakan segera dapat di laksanakan, kendati perlawanan atau banding, dengan atau tanpa ikatan jaminan.
Apa yang di tentukan dalam ayat ke empat dan kelima Pasal 206 berlaku dalam hal ini.

Pasal 246 b berbunyi :
Sekiranya anak – anak yang belum dewasa itu tidak sungguh – sungguh telah berada dalam kekuasaan seorang yang menurut Pasal 246 dan Pasal 246 b di serahi dengan kekuasaan orang tua, atau dalam kekuasaan bapak,ibu atau Dewan Perwalian kepada siapa anak – anak itu di percayakannya, menurut Pasal 241, maka dalam penetapan harus diperintahkan pula penyerahan anak – anak tersebut.
Ketentuan – ketentuan dalam ayat ke dua.ke tiga, keempat dan kelima pasal 319h berlaku dalam hal ini[22].

Menurut Surjono Sukanto yang mengutip pendapat Koentjoroningrat, suatu keluarga berfungsi sebagai :
1.      Kelompok dimana individu itu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidup
2.      Kelompok dimana individu itu,waktu ia sebagai anak – anak dan belum berdaya, mendapat asuhan dan permulaan dari pendidikanya[23].

D.    Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui hak pengasuhan anak di bawah umur akibat perceraian menurut di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.
b.      Untuk mengetahui Hak Dan Kewajiban orang tua terhadap hak asuh anak di bawah umur setelah terjadi nya perceraian.
Manfaat Penelitian
a.       Untuk menambah ilmu pengetahuan penulis tentang hak asuh anak di bawah umur akibat perceraian khususnya Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.
b.      Untuk dapat menjadi bahan penelitian bagi pihak lain yang berkenaan dengan masalah ini.
c.       Hasil penelitian ini kiranya bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran penulis dan besar informasi bagi pemerintah serta bagi penelitian lebih lanjut di kemudian hari.
d.      Sebagai syarat untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan program studi strata satu pada Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.

E.     Metode Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini maka penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1.      Jenis dan sifat penelitian
Di lihat dari jenisnya penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian lapangan dengan cara survey yaitu penelitian yang dilaksanakan langsung dengan dengan menemui responden untuk mendapatkan data dengan menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara.
Di lihat dari sifat penelitian ini dapat di golongkan ke dalam penelitian deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan suatu gambaran yang menyangkut Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru.
2.      Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan mengambil lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Kota Pekanbaru dalam hal pelaksanaan hak dan kewajiban terhadap anak setelah adanya Putusan perceraian oleh Pengadilan Negeri.
3.      Populasi dan Responden
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota masyarakat non muslim yang pernah cerai melalui Pengadilan negri Pekanbaru dengan perihal Hak asuh anak mulai Tahun 2009 hingga Tahun 2010 berjumlah 12 (dua belas) orang. Sedangkan yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :
a.       Semua anggota masyarakat telah bercerai melalui Pengadilan Negri Pekanbaru yang dalam perceraian tersebut mempermasalahkan mengenai hak pengasuhan anak. dan memiliki anak di bawah umur pada Tahun 2009/2010 yang berjumlah 7 pasang suami istri.jadi berjumlah 14 orang.
b.      Semua pejabat / unsur yang terkait dalam penelitian ini, yaitu Majelis Hakim, sehingga total jumlah responden keseluruhan nya 8 (delapan) orang. Mengingat bahwa populasi dalam penelitian ini relatif kecil yakni hanya 8 (orang) maka metode yang di pakai adalah metode sensus yakni mengambil semua populasi yang ada sebagai responden.
4.      Data dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjasi 2 (dua) bagian yaitu :
a         Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari responden secara langsung terhadap penelitian di lapangan dengan menggunakan alat pengumpul data berupa wawancara yang berhubungan dengan permasalahan pokok penulis yang terkait dalam Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Di wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru. Pelaksanaan hak pengasuhan anak di bawah umur akibat perceraian dan yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan hak pengasuhan anak di bawah umur serta pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian.
b.   Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang sudah ada sebelumnya atau merupakan data jadi/baku. Data sekunder ini dikumpulkan bahan – bahan nya melalui buku-buku yang berhubungan dengan hukum keluarga,hak asuh anak dibawah umur, serta peraturan perundang –undangan, karya ilmiah para sarjana dan lain – lain sumber yang berhubungan erat dengan pokok masalah penulisan skripsi ini yang berisikan tentang  pelaksanaan hak pengasuhan anak di bawah umur akibat perceraian dan yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan hak pengasuhan anak di bawah umur serta pelaksanaan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian.
5.      Alat Pengumpul data
Untuk memperoleh data yang dapat dipercaya dan dipertanggung jawabkan sehingga dapat memberikan gambaran tentang permasalahan secara menyeluruh maka dalam hal ini tentunya tidak terlepas dari alat pengumpul data. Alat pengumpul data yang dipakai dalam penelitian ini adalah Wawancara, yaitu tanya jawab langsung dengan pihak – pihak terkait dengan permasalahan dalam penulisan ini dengan berpedoman kepada pertanyaan terstruktur yang sudah dipersiapkan agar tidak ada hal – hal yang terlewatkan.
6 . Analisis Data
Setelah data diperoleh dari hasil wawancara maka data dapat diolah dengan cara mengelompokkan dan memilih data berdasarkan jenis data. Kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan uraian kalimat yang selanjutnya penulis melakukan interpretasi data dengan menghubungkan data dengan data lainnya dalam konteks yang lebih luas dan memberikan penafsiran terhadap gejala – gejala yang tersembunyi dibelakang data yang tertulis serta dianalisis dengan menghubungkan data dengan teori – teori hukum perkawinan nasional, sehingga di tarik kesimpulan secara deduktif.





BAB II
GAMBARAN UMUM

A.    Gambaran Umum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Dalam Aspek Hukum Perdata Barat
1.      Pengertian Perkawinan
Asas Sudah menjadi kodrat Tuhan, bahwa dua orang manusia yang berlainanjenis kelamin, yaitu laki – laki dan perempuan mempunyai keinginan yang sama, untuk saling mengenal, mengamati, dan mencintai, bahkan mereka ini juga mempunyai keinginan yang sama untuk melangsungkan perkawinan.
Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin anatar seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa, hal ini ditegas kan oleh Pasal 1 Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Sedangkan menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, sebab KUH Perdata tidak mengenal definisi dari perkawinan. Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang laki – laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama, UU memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan demikian bunyi Pasal 26 Burgerlijk Wetboek. Artinya bahwa pasal tersebut hendak menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah, hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat - syarat yang ditetapkan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) dan syarat – syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Sedangkan tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang rapat hubungannya dengan keturunan, selain itu yang pula merupakan tujuan dari perkawinan, pemeliharaan dan biaya pendidikan yang menjadi hak dan kewajiban orang tua.
2.      Akibat Hukum Perkawinan
 Dalam setiap perkawinan pasti akan menimbulkan akibat – akibat hukum, akibat perkawinan itu antara lain timbulnya hak dan kewajiban suami dan isteri, hak dan kewajiban orang tua serta kekuasaannya dan di samping itu timbulnya hak perwalian. Seorang anak yang dilahirkan sebagai akibat dari suatu perkawinan, disebut dengan anak sah. Anak sah sampai dia berusia dewasa, berada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama kedua orang tuanya itu masih terikat tali perkawinan.
Dengan demikian kekuasaan orang tua itu berlaku mulai sejak saat lahirnya seorang anak (dalam hal anak luar kawin yang disahkan). Sejak hari pengesahannya itu berakhir pada saat anak itu menjadi dewasa atau telah menikah atau pada waktu perkawinan orang tuanya itu berakhir pada saat itu menjadi dewasa atau telah menikah atau pada waktu perkawinan orang tuanya itu berakhir baik karena salah satu orang tuanya telah meninggal dunia atau karena perceraian. Ada pula kemungkinan menurut Pasal 229 Kitab Undang-undang Hukum Perdata selama perkawinan bapak dan ibunya, setiap anak sampai mereka itu dewasa tetap bernaung di bawah kekuasaan mereka, sejauh mereka itu tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaannya itu[24].
3.      Putusnya Perkawinan
Putusnya perkawinan secara umum dapat dibagi menjadi 3 (tiga) :
a.       Cerai mati
b.      Cerai hidup
c.       Keputusan Pengadilan
Ketentuan dalam Pasal 199 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang pembubaran perkawinan umumnya yaitu ayat (1e) karena kematian, ayat (2e) karena keadaan tak hadir si suami atau si istri, ayat (3e) karena putusan hakim setelah terjadinya perpisahan meja dan ranjang[25].
4.      Akibat Perceraian Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur
 Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi setiap pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi menimbulkan banyak hal yang tidak mengenakan dan kepedihan yang dirsakan semua pihak, termasuk kedua pasangan, anak-anak, dan kedua keluarga besar dari pasangan tersebut. terdapat banyak faktor yang mengharuskan pasangan berpisah atau bercerai. Salah satu alasan pasangan bercerai adalah masalah komunikasi yang terhambat disinyalir menjadi penyebab  perceraian. Pasangan yang dapat terus membina bahtera rumah tangga perlu mendengarkan dan respek/menghargai satu sama lain sekalipun mereka tidak sependapat dalam mengatasi persoalan yang terjadi. Selain itu, pada saat berkomunikasi pasangan suami istri sebaiknya tidak saling menuduh ataupun menyalahkan satu dengan yang lainya[26].
Perceraian menimbulkan berbagai efek di antaranya efek fisik, emosional, dan psikologis bagi seluruh anggota keluarga, Mastekaasa Waite menyebutkan bahwa orang-orang yang bercerai mengalami hal yang tidak baik dibandingkan dengan orang yang tidak bercerai. Perceraian umumnya dianggap sebagai masalah yang serius, kata cerai di deskripsikan sebagai terpecahnya keluarga, anak-anak yang menderita.
Anak-anak tidak pernah bermimpi orang tua nya akan berpisah dan bercerai, sehingga hal ini dapat menimbulkan masalah psikologis pada anak, ketidaksiapan anak menerima kenyataan ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan pernikahan. Anak tidak akan mampu memilih ketika harus diasuh oleh salah satu pihak. Figur ayah maupun ibu sama pentingnya. Setiap figur memiliki warna dan sentuhan yang berbeda sehingga perceraian dapat membuat anak merasa kehilangan sosok yang menjdai modelnya.
Dampak dari perceraian berbeda-beda dirasakan oleh anak, hal ini dapat disebabkan faktor karakter, pemahaman, dan usia anak. Efek perceraian akan dirasakan anak untuk jangka waktu yang lama. Menurut Fassel dalam Benokraistis (2009) menentukan lima tipe perceraian dan efeknya pada anak-anak.
-          Pertama, ketidakhadiran orang tua akan menyebabkan anak tidak dapat memepercayai orang lain setelah dewasa, bersikap sinis, dan akan mengalami ketakutan bahwa pasangannya akan meninggalkannya.
-          Kedua, perceraian yang mengejutkan anak, perceraian ini membuat anak merasa syok, panik, kebingungan, tidak yakin, salah paham, dan menimbulkan kemarahan pada orang tua, sehingga anak-anak tumbuh menjadi dewasa maka dia akan menolak hubungan dekat dengan pasangan karena mereka menduga bahwa pasangannya akan meninggalkannya sewaktu-waktu atau secara tiba-tiba seperti yang terjadi pada orang tuanya.
-          Ketiga, perceraian karena kekerasan pasangan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga cenderung menjdai penyebab perceraian. Dampak bagi anak pada pasangan yang bercerai karena adanya kekerasan adalah anak tidak dapat belajar mengelola kemarahan, anak-anak cenderung menekan rasa marah mereka hingga akhirnya meledak dan timbul kekerasan, atau seorang anak tumbuh menjadi anak yang percaya bahwa pertengkaran adalah cara untuk mendapatkan perhatian.
-          Keempat, perceraian yang terlambat, keputusan untuk bercerai tertunda karena alasan demi anak dapat menimbulkan suasana yang penuh dengan kritik dan kecaman, kemarahan, hingga menimbulkan kebencian, dampak pada anak dimasa dewasanya adalah anak menjadi sinis dalam memandang hubungan baik dengan orang lain.
-          Kelima, perceraian untuk melindungi anaknya dengan menyimpan informasi tentang alasan yang melatarbelakangi perceraian mereka, ketidakjujuran pada anak dapat membahayakan anak-anak di masa yang akan datang.
Menurut Hurlock (1992) perceraian dan perpisahan orang tua dapat menjadi faktor yang snagat berpengaruh pada pembentukan perilaku dan keperibadian anak.
DeGenova (2008) mengungkapkan bahwa terdapat banyak dampak bagi anak di antaranya adalah hak asuh anak, dukungan pada anak, hak anak, serta reaksi anak. Penanganan terhadap dampak percerian pada anak dapat dicegah, untuk dapat melakukannya diperlukan kerja sama pasangan yang akan bercerai, terutama bila keduanya peduli terhadap perkembangan anaknya dimasa mendatang. Mereka harus menahan egonyanya untuk tidak menghakimi dan menjatuhkan salah satu dari mereka didepan anak-anak tersebut. penanganan lainnya adalah tetap memeberikan tempat yang paling nyaman pada anak meskipun telah berpisah. Pemberian kasih sayang yang baik dari kedua orang tuanya selama masa pertumbuhan dan pengasuhan anak, akan mengurangi dampak negative yang kemungkinan terjadi. Dengan demikian adanya stigma perceraian yang menjadikan anak berperilaku negatif dapat dirubah. Peran kedua orang tua sangat menentukan perilaku anak di masa mendatang[27].

5.      Hak Asuh Anak Dibawah Umur Dalam Aspek Hukum Perdata Barat
Pada dasarnya anak terlahir dari sebuah perkawinan, perkawinan menurut perdata barat pada hakikatnya merupakan bagian yang sangat penting didalam hukum kekeluargaan dengan pengertian suatu persetujuan yang menurut kitab Undang-undang hukum perdata, perkawinan merupakan persetujuan seorang laki-laki dan seorang perempuan yang secara hukum hidup bersama-sama untuk berlangsung selama-lamanya. Menurut Undang-undang perkawinan bukan untuk mendapatkan keturunan semata-mata, tetapi Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungannya perdata[28]. Perkawinan melahirkan hubungan kekeluargaan yang menghasilkan sekumpulan anggota keluarga yang tediri dari anak, hubungan pertalian perkawinan tidak selamanya dapat bertahan, karena  perkawinan ini mempunyai ujung dengan dampak negatif yang disebut dengan perceraian. Adapun alasan-alasan Perceraian menurut hukum perdata barat terdapat 4 (empat) dasar untuk perceraian perkawinan :
1.      Berzina dengan orang ketiga
2.      Pihak satu meninggalkan dengan pihak yang lain
3.      Penghukuman pidana dengan hukuman penjara selama tahun atau lebih, dijatuhkan setelah pernikahan
4.      Melukai secara berat atau penganiayaan oleh satu pihak terhadap pihak yang lain sedemikian rupa sehingga dikhawatirkan akan wafatnya yang dianiaya, atau ada luka-luka yang membahayakan[29].
Salah satu akibat nya yaitu terhadap anak yang masih di bawah umur yang dapat menimbulkan sengketa perebutan anak. Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat dan martabat yang patut di junjung tinggi dan setiap anak yang terlahir harus mendapatkan hak-haknya tanpa anak tersebut meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak yang diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 yang mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang, dan menghargai partisipasi anak.
Berdasarkan hukum perdata barat yang menganut kitab Undang-undang hukum perdata menjelaskan bahwa setiap anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam ikatan perkawinan, maka yang menjadi bapak si anak adalah suami dari ibunya. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari sekurang-kurangnya dalam kandungan 180 hari itu ada kemungkinan bahwa anak itu tidak sah, kecuali sebelum perkawinan sicalon suami sudah tahu bahwa calon isterinya akan/sudah mengandung[30].
Adapun prinsip-prinsip umum perlindungan anak sebagai berikut :
1.      Asas nondiskriminasi
Asas nondiskriminasi adalah azas yang tidak membedakan, membatasi, atau mengucilkan anak, baik secara langsung maupun tidak langsung berdasarkan agama, suku, ras, status social, status ekonomi, budaya, ataupun jenis kelamin yang dapat mempengaruhi pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak.
2.      Asas kepentingan yang terbaik bagi anak
Asas demi kepentingan terbaik anak adalah azas yang menekankan bahwa dalam semua tindakan yang berkaitan dengan anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, ataupun badan legislatif dan yudikatif, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
3.      Asas Hak untuk Hidup, Kelangsungan Hidup, dan Perkembangan
Asas yang mendasarkan pada hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah asas yang menekankan bahwa setiap anak mempunyai hak untuk hidup dengan aman, tenteram, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin, serta berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak,dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang disebutkan oleh Undang-undang  Perlindungan Anak memiliki kewajiban dari tanggung jawab untuk itu, yaitu orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
4.      Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak
Asas penghargaan terhadap pandangan/pendapat anak adalah asas yang memberikan hak kepada anak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak, meliputi :
·         Hak untuk bependapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;
·         Hak untuk mendapat dan mengetahui informasi serta untuk mengeskpresikan;
·         Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung; dan
·         Hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung dari informasi yang tidak sehat[31].
Setelah terjadinya perceraian orangtua mempunyai hak – hak secara umum, bagi non muslim untuk pihak istri :
  • Umumnya si (mantan) istri mendapatkan hak pemeliharaan anak bila si anak masih balita (bawah lima tahun);
  • Si (mantan) istri berhak mendapatkan bagiannya pada harta gono-gini.
Pihak suami :
  • Si (mantan) suami wajib membiayai dan menafkahi anaknya untuk kepentingan kehidupannya sehari-hari dan biaya pendidikannya;
  • Si (mantan) suami juga berhak mendapatkan bagiannya pada harta gono-gini[32].
Ketentuan dalam pasal-pasal Undang-undang Perkawinan ternyata tidak mengatur secara rinci dan khusus. Mengenai hak-hak seorang anak ini secara rinci dan khusus telah di atur dalam :
a.       Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan seorang anak
Sebagai upaya menjamin terwujudnya kesejahteraan anak,yaitu suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembanganya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial, terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak,secara umum anak-anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam keluarganya maupu didalam asuhan khusus untuk tumbuh kembang yang wajar[33].
Terdapat pada Pasal 2:
1)      Anak berhak atas kesejahteraan,perawatan,asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun didalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
2)      Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjdai warganegara yang baik dan berguna.
3)      Anak berhak atas pemeliharaan, perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
4)      Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.

Dari hal demikian dapat disimpulkan, sangat pentingnya peranan orangtua untuk memenuhi kebutuhan seorang anak, anak dibawah umur korban dari perceraian kedua orangtuanya wajib dipertimbangkan oleh kedua orangtua dalam penjatuhan hak asuh nya. Karena banyak anak yang tidak terpenuhi hak nya dikarenakan perilaku orangtua yang tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya, hak untuk mengasuh seorang anak dibawah umur seharusnya lebih di khususkan, karena memngingat umur perkembangan anak yang membutuhkan kasih saying orangtua khusus nya pihak ibu. Namun hal ini tidak dapat di terima oleh sebagian pihak ayah yang menuntut pengasuhan anak agar jatuh ke tangannya, tanpa berfikir itu sangat mengganggu psikologis anak.
b.      Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Perlindungan hukum pada hak-hak anak menurut Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 ini pada dasarnya :
a.       Hak untuk dapat perlindungan dari orangtua
Sebagai pelindung dari gangguan, ancaman atau kondisi yang menimbulkan ketidaknyamanan (fisik-psikologis) terhadap anak.
b.      Hak untuk mengetahui siapa orangtuanya dan harus mendapat jaminan untuk diasuh dan dirawat oleh mereka
Anak berhak mengetahui orangtua kandungnya, dan harus mendapatkan perhatian penuh dari oran tua berupa perawatan untuk tumbuh kembang psikologis anak.
c.       Hak untuk memperoleh pendidikan, pengajaran, beristirahat, bergaul, dan berintegrasi dengan lingkungannya
Pendidikan yang harus diterapkan bagi anak, tidak hanya pendidikan sekolah tetapi juga pendidikan luar sekolah  yaitu orangtua memberikan pendidikan menyangkut penanaman, bimbingan atau kebiasaan nilai-nilai agama, budaya, dan keterampilan-keterampilan tertentu yang bermanfaat bagi anak. Berkaitan dengan tanggung jawab orangtua dalam mendidik anak tidak hanya sebatas anak mampu mempertahankan hidupnya, namun lebih dari itu adalah mampu memaknai hidupnya atau memahami hidupnya.
Dalam bentuk integrasi dengan lingkunganya orangtua merupakan faktor penentu yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang dan orangtua atau keluarga sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai atau peran-peran hidup dalam masyarakat yang harus dilaksanakan anak nya. Orangtua  juga dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan anak untuk menaati peraturan (disiplin), mau bekerjasama dengan orang lain, bersikap toleran, menghargai pendapat orang lain, mau bertanggung jawab dan bersikap matang dalam kehidupan yang akan datang dalam bidang etnis, ras, budaya, dan agama.
d.      Hak untuk menerima informasi dan mendapatkan perlindungan dari kegiatan yang bisa mengancam keselamatan dirinya
Berhak mendapatkan perlindungan dari kedua oragtua dalam menghadapi anacaman baik secara fisik ataupun psikologis yang terjadi terhadap anak, dan hal yang menimbulkan rasa takut terhadap anak atau trauma terhadap suatu hal.
e.       Hak untuk memperoleh perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak pidana dewasa[34].
Perlakuan yang berbeda dari pelaku tindak pidana dewasa, yaitu proses hukuman tidaklah seberat pelaku tindak pidana dewasa, anak dibawah umur hanya membutuhkan bimbingan dari orangtua atau pejabat yang berwenang, karena anak sangat mudah terpengaruh apabila tidak adanya pendidikan dari orangtuanya.
Dalam hal di atas dapat disimpulkan apabila kedua orangtua tidak memenuhi hak-hak anak, maka dapat mengakibatkan hal – hal yang fatal bagi anak baik itu pemikiran, prilaku, sifat, dan kebiasaan yang buruk. Dapat di lihat dari prakteknya, setelah orangtua bercerai, tingginya keterlantaran anak-anak,sehingga anak membentuk pola pikir dan berkembang dengan sendirinya sehingga menimbulkan prilaku-prilaku yang tidak baik terhadap orang lain atau bagaimana dia bersikap, karena tidak memiliki etika dan moral. Etika dan moral seorang anak sangat bergantung dengan apa yang di ajarkan oleh kedua orangtuanya atau keluarganya. Setelah terjadinya perceraian kedua orangtua hanya mengikuti egois nya saja tanpa memperdulikan baik atau buruknya terhadap jiwa anak.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh ialah sebagai berikut :
  • Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
  • Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuhan siapa pun.


B.     Gambaran Umum Hak Dan Kewajiban Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur Dalam Aspek Hukum Perdata Barat
  1. Pengertian Hak dan Kewajiban
Mengenai hak dan kewajiban orangtua terhadap hak asuh anak dibawah umur, maka yang timbul dari pemikiran kita ialah kedua orangtua yaitu ayah dan ibu yang mempunyai kewajiban terhadap anak-anaknya khususnya anak dibawah umur setelah terjadinya perceraian. Masalah ini sering dibicarakan oleh para sosiolog yang ingin mengetahui suasana rumah tangga yang baik, sejahtera, aman dan damai, dalam hal ini tentu saja kehidupan beragama termasuk didalamnya, karena agam mempunyai peranan penting bagi kehidupan.
Dalam suatu perkawinan apabila sudah dikatakan tidak dapat lagi untuk di pertahankan, berakibat menjadi perceraian yang mana kita ketahui sedang marak nya perceraian pada saat ini. Apabila perceraian ini telah di putuskan sah telah bercerai muncul suatu persoalan, bagaimana dengan kelangsungan hidup anak-anak dan siapa yang berhak atas memelihara, mengasuh, melindungi dan mendidik anak.
Pasal 41 Undang – Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:
a.        Baik ibu maupun Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak – anaknya, semata – mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak – anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak – anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c.        Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
Undang – Undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak – anak mereka dengan sebaik –baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 ( 1 ) Undang – undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan diantara kedua orang tua putus. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 45 Undang – Undang Perkawinan. Kedua mengatur tentang kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka dengan baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya ( Pasal 46 Undang – Undang Perkawinan). Ketiga mengatur tentang adanya keharusan anak diwakili orang tua dalam segala perbuatan hukum yang diatur dalam pasal 47 yaitu:
Anak yang belum mencapai umur 18 tahun ( delapan belas tahun). Atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Keempat diatur di dalam Pasal 48 Undang – Undang Perkawinan yang memuat bahwa: Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang – barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Kelima diatur dalam Pasal 49 Undang – Undang Perkawinan tentang adanya kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal – hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.
b. Ia berkelakuan buruk sekali.
Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Khusus di dalam Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dengan Anak yang diatur dalam Undang – Undang Perkawinan mendapatkan perhatian dari Prof.Hazairin dalam tinjauannya tentang hal tesebut bahwa istilah belum dewasa dijumpai dalam Pasal 46 ayat ( 2 ) dan Pasal 49 ayat ( 1 ) apa arti dewasa tidak dijumpai penjelasannya.
Menurut Pasal 45 kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak – anaknya berlaku sampai anak itu menikah atau berdiri sendiri. Sebaliknya menurut Pasal 46, jika anak tersebut telah ” dewasa ” ia wajib memelihara menurut kemampuannya orang tuanya apabila mereka memerlukan bantuannya. Jelaslah bahwa ” dewasa ” itu dikaitkan kepada kemampuan dapat membantu memelihara orang lain, yaitu membela keperluan hidup orang lain, hal mana hanya mungkin jika si ” dewasa ” itu ialah orang yang sanggup memelihara diri sendiri atau dapat berdiri sendiri yaitu tidak lagi tergantung hidupnya kepada orang tuanya.
  1. Hak dan Kewajiban Menurut Aspek Perdata Barat
Bagi perdata barat tentang kewajiban orangtua memelihara dan mendidik anak sampai mereka dewasa tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diatur dalam KUH perdata Pasal 298. Tentu saja orangtua berkewajiban disamping memelihara anak memberikan pula pendidikan agama agar anak-anak tumbuh dan berkembang dengan budi pekertinya yang baik. Tanggung jawab orangyua memelihara dan mendidik anak itu tidak akan berakhir walaupun orangtua kehilangan hak sebagai walinya[35].
Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orangtua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama mengatur tentang kewajiban yang menyangkut beberapa hal. Pertama mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus. Ketentuan ini diatur didalam Pasal 45 Undang-undang Perkawinan.
Kedua mengatur tentang kebalikannya, yaitu kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu ; anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka dengan baik, jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya ( Pasal 46)[36].
Kewajiban orangtua setelah terjadinya perceraian antara ibu dan ayah sama-sama mempunyai peranan penting bagi si anak dan mempunyai kedudukan yang sama. Hubungan orangtua dan anak sangat erat dan tidak bisa diputuskan.

Berikut merupakan kewajiban – kewajiban orangtua terhadap anak menurut Undang-undang Perlindungan Anak  pasal 26 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang menentukan sebagai berikut :

1)      Orangtua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk

a.       Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak

b.      Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

c.       Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

 

Adapun kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan dan hubungan keluarga mengenai anak setelah akibat perceraian pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang konvensi wanita :

-          Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pada pemutusan perkawinan.

-          Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orangtua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka,dalam semua kasus kepentingan anak-anaklah yang diutamakan.

-          Hak dan tanggung jawab yang sama berkenaan dengan perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak-anak atau lembaga-lembaga yang sejenis dimana konsep-konsep ini ada dalam peraturan perundang-undangan nasional, dalam semua hal kepentingan anak-anak yang wajib diutamakan.

-          Pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum, dan semua tindakan yang perlu, termasuk membuat peraturan perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan usia minimum untuk kawin dan mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor pencatatan resmi[37].

Adapun menurut Undang-undang tentang Kesejahteraan Anak No 4 Tahun 1979 mengenai tanggung jawab orangtua terhadap anak  terdapat pada Pasal 9:          

Orangtua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

 

Pasal 10:

1)      Orangtua yang terbukti melalikan tanggungjawabnya sebagaimana termaksud dalam Pasal 9, sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orangtua terhadap anaknya. Dalam hal itu ditunjuk orang atau badan sebagai wali.

2)      Pencabutan kuasa asuh dala ayat (1) tidak menghapuskan kewajiban orangtua yang bersangkutan tidak membiayai, sesuai dengan kemampuannya, penghidupan, pemeliharaan, dan pendidikan anaknya.

3)      Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orangtua ditetapkan dengan keputusan hakim.

4)      Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah

 

Dari bunyi Pasal diatas dapat disimpulkan dapat dikaitkan bagi anak jika orangtua telah bercerai, yang mana ornagtua harus mamp[u bertanggungjawab untuk kesejahteraan anaknya.

Apabila terjadinya perceraian antara kedua orangtua, seorang ibu dipandang lebih berhak terhadap pemeliharaan anak dari seorang ayah. Seorang perempuan lebih di dahulukan tentang masalah pemeliharaan, baru berikutnya orang laki-laki. Oleh karena itu, lebih diutamakan keluarga yang terdekat dan seterusnya guna menjaga rasa belas kasih terhadap anak kecil, lebih diutamakan ibunya daripada ayah dalam pemeliharaan ini berlaku sejak anak itu dilahirkan. Oleh karena itu, ayah tidak mempunyai hak memisahkan anak dari ibunya disaat anak itu masih menyusui. Masa mengasuh anak dibawah umur ini oleh ibunya jika si anak tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup melaksanakan apa-apa keperluanya yang vital. Untuk anak perempuan diperpanjang sampai ia dewasa, tanpa adanya ketentuan berapa tahun umurnya.[38]

Dalam membantu membentuk psikologis anak dibutuhkan kesamaan persepsi orangtua dalam memberikan pengasuhan anak sesuai kebutuhan meskipun telah bercerai.

Orangtua juga dituntut untuk menyelenggarakan nafkah bagi anak-anaknya sesuai dengan kemampuan dan kadar luar rezeki yang ada padanya. Khususnya terhadap seorang ayah wajib untuk mencari dan memberi nafkah kepada anaknya setelah terjadinya perceraian.

Berikut merupakan ketentuan-ketentuan hak asuh anak dibawah umur oleh kedua orangtua setelah terjadinya perceraian :

1.      Syarat-syarat perilaku hak asuh anak dibawah umur

Mengenai tentang prilaku seorang pengasuh, merupakan hal yang mendapat perhatian yang sangat besar pada saat ini. Karena salah itu, salah satu dari persyaratan yang harus di penuhi adalah bahwa seseorang yang akan melakukan hak asuh anak hendaklah orang yang dapat di percaya dan berakhlak baik, hal itu karena hak asuh anak merupakan tugas mendidik dan menggembleng si anak untuk berakhklak mulia. Peran si pendidik dalam memberikan contoh dan teladan dari sikap dan perilakunya akan terpatri dan terkesan secara mendalam pada hati si anak. Kalau yang ditampilkan oleh si pendidik itu adalah perilaku yang mulia, si anak akan melakukan hal yang sama sesuai contoh yang ia terima. Begitu pula sebaliknya, jika yang ia saksikan adalah perilaku yang tidak baik, maka perilaku tersebut akan tertular kepada anak tersebut.

Jika dalam persengketaan pemeliharaan anak terbukti bahwa, walaupun si ibu lebih dekat kepada anak, lebih halus, lebih penyantun, tetapi bila ia berakhlak buruk, tidak taat beragama, dan sebagainya, sedangkan si ayah orang yang baik akhlaknya, taat beragama, tinggal dilingkungan yang agamis, maka sudah semestinya hakim menetapkan bahwa pemeliharaan anak tersebut diserahkan kepada ayahnya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan si anak.

2.      Nafkah untuk anak

Biaya mengasuh anak dibebankan kepada ayah anak. Segala sesuatu yang diperlukan anak diwajibkan kepada ayah untuk mencukupinya. Apabila ibu yang mengasuh tidak mempunyai tempat tinggal, ayah harus menyediakannya agar ibu dapat mengasuh anak dengan sebaik-baiknya. Apabila untuk keperluan asuhan yang baik diperlukan pembantu rumah tangga, dan ayah memang mampu, ia diwajibkan menyediakan pembantu rumah tangga itu. Jika anak masih dalam masa menyusu, dan untuk dapat menyusui anak dengan baik ibu memerlukan makanan sehat, obat-obat vitamin , dan sebagainya, semuanya itu menjadi beban ayah. Apabila anak sudah waktunya masuk sekolah, biaya pendidikan itu menjadi tanggungan ayah juga.

Tegasnya biaya mengasuh anak, apapun bentuknya, apabila memang benar-benar diperlukan, menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya yang ada. Kecuali biaya mengasuh, nafkah hidup anak pun yang berupa makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan biaya pendidikan dibebankan kepada ayahnya.

Meskipun hak asuh anak dibawah umur ditetapkan kepada ibunya, tetapi biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Disini tampak bahwa sengketa pemeliharaan anak tidak dapat disamakan dengan sengketa harta bersama. Pada sengketa harta bersama yang dominan adalah tuntutan hak milik, bahwa pada harta bersama ada hak suami dan ada hak istri yang harus dipecah. Ketika harta bersama telah dipecah, maka putuslah hubungan hukum suami dengan harta bersama yang jatuh menjadi bagian istri, begitu pula sebaliknya.

Akan tetapi, pada hak asuh anak dibawah umur ini, hubungan hukum antara anak dengan orangtua yang tidak mendapat hak asuh anak tidaklah putus, melainkan tetap mempunyai hubungan hukum sebagai orangtua dan anak. Akibat logisnya adalah meskipun hak asuh anak, misalnya, ditetapkan kepada ibu, maka pihak ibu sekali-kali tidak dibenarkan menghalang-halangi hubungan ayah dengan anaknya. Kesempatan harus diberikan kepada sang ayah untuk bertemu, mencurahkan kasih sayang kepada anaknya.

3.      Berakhirnya masa asuhan

Hak ibu mengasuh anak berakhir apabila si anak telah mencapai umur yang dewasa, maka ia disuruh memilih, apakah ikut sang ayah atau sang ibu. Apabila anak lebih memilih ibu, ayah tetap wajib memberikan nafkah terhadap kebutuhan si anak.

Dalam hal ini yang paling penting dan perlu diingat ialah siapapun yang akhirnya dipilih untuk diikuti, keberhasilan pendidikan agar menjadi anak saleh menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Segala sesuatunya dimusyawarahkan bersama, perceraian ayah dan ibu jangan sampai anak yang menjadi korban. Dan tidak boleh menanamkan rasa benci terhadap kedua orangtuanya, seperti ibu memburukan nama si ayah, begitu juga sebaliknya. Dan anak yang mengikuti salah satunya tidak boleh di[pisahkan dari salah satunya[39].

Mahkamah Agung RI dalam yurisprudensinya memutuskan bahwa untuk kepentingan si anak, maka yang masih dibawah umur 12 tahun pemeliharaanya seyogyanya diserahkan kepada orang yang terdekat dan akrab dengan si anak. Ini berarti bahwa jika si anak telah terbiasa hidup bersama dan di lingkungan sang bapak, maka hakim harus menetapkan hak pemeliharaan anak pada bapaknya.

Keputusan Mahkamah Agung RI tersebut setidaknya telah menciptakan suatu warna hukum baru tentang hak asuh anak, yaitu walupun prioritas utama pemegang hak asuh anak adalah ibu, tetapi hak perioritas itu dapat saja beralih sewaktu-waktu kepada orang lain apabila keadaan menghendakinya. Peralihan hak asuh anak tidak harus beralih kepada ibunya ibu dan seterusnya seperti yang terkaji secara klasik, tetapi bisa saja beralih kepada ayah, atau orang-orang yang terdekat dan akrab dengan si anak. Hal ini secara filosofis adalah untuk menjaga kepentingan si anak baik dari psikologisnya dan dari aspek lainnya. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Agung RI tersebut sekaligus menggeser ketentuan Fiqih menurut islam yang mengatur hak asuk anak yang dirasakan tidak relevan lagi dengan tuntutan hukum kini[40].

 

 

 

 

 

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

1.    Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum  Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru

Hak asuh anak dalam aspek hukum perdata barat, yang kita kenal bersumber dari kita Undang-undang Hukum Perdata sangat memiliki peranan penting dalam pelaksanaanya. banyak pelaksanaan yang berbeda dengan keadaan peraturan yang sebenarnya. Dalam hal perceraian telah ada aturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban orangtua dalam mengasuh anak, namun pada kenyataanya aturan itu tidak diindahkan oleh penggunanya.

Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru dapat ditemui banyak nya perkara perceraian yang terjadi yang mengakibatkan adanya yang berhak dari salah satu orang tua yang bercerai untuk mendapatkan hak penuh untuk mengasuh anak tersebut.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tanggal 10 desember 2010 memaparkan bahwa hal perceraian sudah menjadi hal yang biasa diruang lingkup perkawinan, dari hal perceraian inilah timbul adanya hak pengasuhan anak dibawah umur yang pernah ditangain oleh majelis hakim yang akan di berikan kepada yang dianggap bisa memelihara dan mendidik anak-anak dari salah satu orangtua mereka yang bercerai[41].

Hal ini dapat ditegaskan didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada Pasal 246 bahwa setelah terjadinya perceraian terhadap orangtua, masing-masing anak yang belum dewasa akan ditetapkan oleh Pengadilan Negeri kepada siapa yang dianggap berhak untuk memelihara anak tersebut. Kecuali adanya pemecatan atas kekuasaan orang tua[42].

Pada dasarnya tidak ada yang menginginkan perceraian, namun perceraian dianggap jalan pintas yang terbaik bagi kedua orang tua. Dalam hal perceraian banyak timbulnya sengketa tentang hak asuh anak dibawah umur yang mengakibatkan perebutan hak terhadap anak dengan secara paksaan dan kekerasan.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru tentang adanya sengketa yang terjadi dalam hak asuh anak dibawah umur[43]. banyak nya sengketa yang ditimbulkan tentang mengenai hak perwalian anak, nafkah anak, dan pemeliharaan anak yang diperebutkan oleh kedua orangtua[44]. Majelis hakim juga menambahkan dalam pelaksanaan hak asuh anak yang telah diperkara kan di Pengadilan Negeri Pekanbaru hakim menjelaskan bahwa semua yang menyangkut pelaksanaan tetap berpusat kepada peraturan Per Undang-undangan yang berlaku.

Pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa kedua orang tua yang telah bercerai tetap mempunyai kewajiban dalam hal memelihara dan mendidik anak-anaknya  berdasarkan kepentingan anak tersebut, jika adanya perselisihan mengenai penguasaan anak-anak maka pengadilan yang akan member keputusan[45].

Perkawinan merupakan perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang pesat dengan adanya menghasilkan keturunan-keturunan. Perkawinan dilaksanakan oleh sebuah keluarga yang terdiri dari suami dan isteri beserta anak, jika keluarga tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan baik maka akan timbul akibat dari perkawinan yaitu perceraian. Perceraian dapat dibagi menjadi 2 (dua) :

a.       Cerai hidup, merupakan putusnya perkawinan antara suami dan isteri dengan sebab yang jelas dengan mengajukan gugatan melalui Pengadilan yang berwenang untuk menyelesaikanya

b.      Cerai mati, merupakan putusnya perkawinan karena salah seorang suami atau isteri meninggal dunia. Secara hukum sejak meninggal dunia nya salah seorang suami isteri, putuslah perkawinan mereka, suami atau isteri yang masih hidup dibolehkan untuk menikah lagi, asal memenuhi kembali syarat- syarat perkawinan[46].

c.       Karena atas keputusan Pengadilan, merupakan putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan adanya gugatan perceraian seorang isteri yang melangsungkan perkawinan seorang suami atau seorang isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama islam yang dinamakan cerai gugat.

Adapun uang penulis fokuskan disini mengenai cerai hidup, karena menurut hasil yang penulis peroleh, bahwa sengketa nya hak asuh anak diawali oleh perceraian.

Menurut Surjono Sukanto yang mengutip pendapat Koentjoroningrat, suatu keluarga berfungsi sebagai :
3.      Kelompok dimana individu itu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidup
4.      Kelompok dimana individu itu,waktu ia sebagai anak – anak dan belum berdaya, mendapat asuhan dan permulaan dari pendidikanya[47].

Ruang lingkup yang penulis peroleh dari Wilayah Hukum Pengadilan Negeri ini merupakan Agama Kristiani dan Agama Budha.

Menurut agama kristiani pada katholik putusnya perkawinan dikarenakan perceraian (cerai hidup) pada dasarnya tidak boleh terjadi, namun hal ini dapat terjadi di Kantor Catatan Sipil dan tidak ada halangan bagi pihak agama. Tentang kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak sampai mereka telah dewasa tidak jauh berbeda dengan yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 298. Tentu saja berkewajiban disamping memelihara anak memberikan pula pendidikan agama agar anak-anak tumbuh berkembang dengan budi pekerti yang baik.

Menurut agama Budha perceraian dapat dilakukan jika memilki alasan yang sangat kuat, karena sangat sulit untuk melakukan perceraian. Setelah perceraian terdapat dalam peraturannya baik ayah ataupun ibu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semua pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya ditanggung oleh ayah, jika ayah tidak sanggup maka dewan pandita akan menentukan bahwa ibulah yang memikulnya[48].

Dalam hal penjatuhan hak asuh anak dibawah umur, majelis hakim akan memutuskan hak asuh anak dibawah umur berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, apakah kepada pihak ayah atau pihak ibu.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru tentang pertimbangan-pertimbangan yang memperoleh hasil akhir yaitu putusan. hasil pertimbangan hakim yang telah diputuskan tentang hak asuh anak terhadap 7 (tujuh) perkara yang ada, memiliki jawaban yang berbeda-beda. Adapun pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak ialah terdapat pada 5 (lima) pasangan hak pengasuhan anak jatuh ke pihak ibu dengan mana hakim mempertimbangkan karena anak tersebut masih dibawah umur sehingga masih perlu perawatan kasih sayang, dan dalam kenyataannya selama ini anak tersebut dipelihara dan di didik oleh ibu, maka untuk kepentingan anak tersebut majelis hakim memandang patut bilamana kedua anak tersebut dibawah penguasaan ibu untuk dipelihara dan dididik sampai anak tersebut dewasa[49].

Pada dasarnya hak asuh anak dibawah umur lebih diperioritaskan kepada pihak ibu, dikarenakan ibu lebih ulet dalam memelihara dan mendidik anak tersebut, misalnya seperti menyusui bagi anak yang masih membutuhkan ASI (Air Susu Ibu), merawat anak tersebut dengan lebih terampil. Namun hak asuh anak dibawah umur dapat juga jatuh kepihak bapak dengan pertimbangan-pertimbangan hakim yang lebih mendasar.

Adapun hal yang dapat mempertimbangkan bahwa hak asuh anak dapat jatuh ke pihak ayah dengan alasan sebagai berikut :

a.       Jika kedua orang tua sama-sama bekerja, maka hak asuh anak lebih baik jatuh kepihak bapak karena, jika anak jatuh ke pihak ibu kemungkinan besar anak tersebut akan terlantar, dengan sibuknya ibu kerja dan kemungkinan akan menimbulkan pihak bapak merasa tidak perlu memberikan nafkah ke pada anak, pihak bapak menganggap, pihak ibu dapat menafkahi. Jika anak jatuh ke pihak bapak, bapak harus bertanggungjawab untuk menafkahi anaknya dan mendidik anaknya sehingga lebih efektif dalam pemeliharaan anak tersebut.

b.      Jika ibu berhubungan dengan tindakan yang melawan hukum seperti melakukan perbuatan kriminal, contoh ; narkoba, penipuan, pencurian, pembuhan, dan sebagainya yang mengakibatkan ibu di penjara sehingga tidak dapat mengasuh anak secara baik.

c.       Jika ibu di ketahui tidak berakal sempurna, sakit, sehingga sangat tidak efektif untuk mengasuh anak tersebut. hal ini akan mempengaruhi jiwa seorang anak, jika orang yang merawatnya memiliki akal yang tidak sempurna sehingga menimbulkan ancaman bagi si anak.

Menurut hasil wawancara penulis dengan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru bahwa pertimbangan-pertimbangan pada Kepada 2 (dua) pasang suami isteri setelah perceraian, hak pengasuhan anak jatuh ke tangan bapak, sebagaimana telah dipertimbangkan majelis hakim bahwa bapak dianggap layak dalam mengasuh anak karena anak telah terbiasa ada dalam lingkugan bapak dan dari perkembangan anak tersebut membutuhkan biaya-biaya yang besar untuk dipelihara sampai anak tersebut dewasa[50].

Hal perceraian sangat banyak terjadi di Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan menimbulkan masalah persengketaan anak.

Hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian mempunyai aturan-aturan  untuk mengaturnya agar dapat dilaksanakan oleh kedua orang tua yang telah bercerai.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Majelis Hakim Pekanbaru pada tanggal 5 April 2011 bahwa majelis hakim mengetahui tentang aturan yang akan diberlakukan mengenai hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian[51].

Aturan-aturan yang mengatur tentang hak asuh anak dibawah umur terdapat tidak lepas dari peraturan tentang perkawinan.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Majelis Hakim bahwa aturan-aturan yang menjadi dasar untuk hak asuh anak dibawah umur yaitu terdapat pada Kitab Undang-undang Hukum perdata pada Pasal 246 yang sedikitnya menjelaskan bahwa setelah terjadinya perceraian meja dan ranjang mengenai hak pengasuhan anak akan di putuskan oleh majelis hakim, artinya disini apakah anak tersebut jatuh ke pihak ayah atau ke pihak ibu dengan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan keterangan yang telah dipenuhi. Majeis hakim juga menambahkan bahwa terspat juga pada  Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada Pasal 41 dengan kesimpulan setelah terjadinya perceraian kedua orang tua wajib memelihara, mendidik anak mereka serta untuk bapak agar dapat menafkahi anak tersebut hingga ia dewasa. Majelis hakim menambahkan lagi, Mengenai aturan tentang anak juga tidak lepas dari perundangan tentang anak mengenai  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak pada Pasal 9 yang menegaskan orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial[52].

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut majelis hakim aturan-aturan mengenai hak asuh anak tidak hanya dalam ruang lingkup perkawinan namun juga dengan kesejahteraan anak. Hak-hak anak yang akan diperoleh terkait juga dengan Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pada Pasal 13 ayat (1) yang menegaskan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orangtua, wali atau pihak lain berhak mendapatkan perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelataran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainya. Dengan adanya aturan seperti di atas maka anak akan terlindungi hak nya apabila kedua orang tua dapat menjalan kannya dengan baik dan benar meskipun telah berpisah atau putusnya tali perkawinan[53].

Hal tersebut juga di tegaskan pada Pasal 229 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:

“setelah Perceraian diperintahkan,dan setelah mendengar atau memangil dengan sah akan kedua orang tua dan sekalian keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa, Pengadilan Negeri menetapkan terhadap tiap-tiap anak, siapakah dari kedua orang tua merek, harus melakukan perwalian atas anak-anak itu, dengan mengindahkan keputusan-keputusan Hakim yang dulu-dulu, dengan mana mereka kiranya pernah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tua.

Penetapan itu berlaku setelah hari keputusan perceraian memperoleh kekuatan mutlak. Sebelum itu pemberitahuan tak usah dilakukan dan perlawanan atau permintaan bandingan tak boleh di majukan.

Terhadap penetapan itu, si bapak atau si ibu yang tidak di angkat menjadi wali, boleh melakukan perlawanan, apabila ia atas panggilan termaksud dalam ayat pertama, telah tidak datang menghadap. Perlawanan harus dimajukan dalam waktu tiga puluh hari setelah penetapan diberitahukan kepadanya.

Si bapak atau siini yang telah datang menghadap atas panggilan tidak di jadikan wali, atau yang perlawanannya telah di tolak, bolehmemajukan permintaan banding terhadap penetapan tersebut, dalam waktu tiga puluh hari setelah hari tersebut dalam ayat kedua[54].

 

Setelah perceraian, yang sering muncul dari pihak pria saat ingin megurus” perceraian adalah masalah hak asuh anak, ada anggapan yang mengatakan bahwa dalam perceraian, kesempatan ibu untuk mendapatkan hak asuh anak lebih besar dari pihak pria tidak sepenuhnya benar. Dalam perkara perceraian, tidak selamanya tuntutan hak pengasuhan anak yang diajukan oleh seorang ibu dapat dikabulkan. Tidak ada ketentuan hukum perundang-undangan yang mengatur dan mengaskan bahwa ibu berhak atas pengasuhan anak. Kalaupun ada pengaturan hukum yang secara tegas tentang hak ibu selaku pemgang hak pengaushan anak, hanya ada dalam pengaturan Kompilasi Hukum Islam, yang hanya berlaku bagi yang melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum islam.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap 7 (tujuh) responden pada pasangan suami isteri pertama dan kedua pada tanggal 7 november 2010, pada pasangan ketiga dan keempat pada tanggal 12 november 2010, pasangan kelima, keenam dan ketujuh pada tanggal 14 november 2010.karena terdapatnya kesamaan jawaban dari beberapa pertanyaan maka penulis menuangkan nya dalam satu bentuk jawaban  maka diketahui bahwa pada pasangan suami istri terdapat jawaban yang sama yaitu sama-sama pernah bercerai di Pengadilan Negeri Pekanbaru[55].  Mereka juga menambahkan bahwa pernah mempermasalahkan tentang hak asuh anak dibawah umur[56]. Masalah yang timbul dari hak asuh anak tersebut ialah mantan suami dan mantan istri memperebutkan atau mempersengketakan hak asuh untuk pemeliharaan anak tersebut[57].

Pada saat ini belum ada aturan hukum tegas bagi hakim untuk memutuskan siapa yang berhak atas kuasa asuh anak. Hakim mempertimbangkan putusannya berdasarkan fakta-fakta dan bukti yang terungkap di persidangan mengenai baik buruknya pola pengasuhan orang tua kepada si anak. Hal yang juga diperhitungkan adalah perilaku dari orang tua tersebut serta hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi. Jadi, kunci menang kalahnya seorang ibu dalam perebutan “hak perwalian anak” adalah pada argumentasi hukum si ibu. Mereka yang kalah umumnya karena kurang kuatnya argumentasi  hukum untuk meyakinkan hakim tentang pola pengasuhan yang di lakukannya kepada si anak. Kelemahan argumentasi tersebut juga disebabkan oleh perilaku orang tua tersebut. Misalnya si ibu bekerja sampai larut malam sehingga tidak memperhatikan keperluan anak, kurang mengutamakan kedekatan kepada si anak, dan hal-hal terkait kepentingan si anak baik secara psikologis, materi maupun non materi[58].

Perebutan pengasuhan anak juga menjadi salah satu permasalahan yang sering muncul. Masing-masing pihak merasa memiliki kapasitas yang lebih dari yang lainnya dalam hal pengasuhan anak. Bahkan tidak jarang muncul ancaman-ancaman tertentu guna memenangkan hal pengasuhan anak.

Menurut hasil wawancara pada pasangan pertama pada tanggal 7 november 2010 menurut mantan suami dalam pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur tidak memiliki kendala apa-apa sedangkan menurut mantan  istri dalam pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur banyak menimbulkan masalah[59]. Dengan perkara hak asuh anak yang telah diputuskan hakim suami setuju dengan keputusannya, sedangkan mantan istri tidak setuju karena hak asuh anak jatuh kepada mantan suami[60]. Mantan isteri berpendapat jika hak asuh anak dibawah umur jatuh ke tangan suami akan berdampak buruk[61].

Menurut hasil wawancara Pada pasangan kedua pada tanggal 7 november 2010 pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur memiliki masalah, karena sesuai keputusan hakim yang mana hak asuh anak jatuh kepada pihak ayah, namun pada kenyataannya anak tersebut dibawa oleh mantan isteri keluar kota Pekanbaru tanpa sepengetahuan mantan suami, hingga kini tidak diketahui dimana keberadaan anak tersebut[62]. Mantan suami setuju dengan keputusan hakim sedangkan mantan isteri tidak setuju dengan keputusan hakim[63]. Mantan isteri berpendapat bahwa jika hak asuh anak dibawah umur jatuh ke tangan mantan suami, maka akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang pola pikir anak tersebut lebih ke negatif[64].

Jika si ibu tidak mendapatkan hak pengasuhan anak, pihak ibu atau istri dapat mengupayakan banding. Banding adalah upaya hukum atas ketidakpuasan salah satu pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan tingkat pertama[65].

Pada kenyataannya sebagian dari bapak telah mendapatkan hak pengasuhan anak dibawah umur setelah perceraian, hal dikarenakan sebagai berikut :

a.       Ibu dianggap tidak baik dalam mendidik anak dikarenakan sikap ibu yang tidak bisa memberikan gambaran baik terhadap anak, seperti ; memukul anak, memarahi anak secara berlebihan.

b.      Lingkungan ibu yang tidak baik, dapat mempengaruhi pola pikir dan pertumbuhan psikologis anak yang tidak baik.

Menurut hasil wawancara Pada pasangan ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh karena memiliki persamaan jawaban maka penulis merangkum menjadi 1 (satu) jawaban. pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur jatuh ke tangan mantan isteri, hal ini  menimbulkan masalah terhadap pihak suami, sedangkan menurut isteri pelaksanaan hak asuh anak tidak memiliki kendala[66].

 Pada dasarnya ibu mengganggap anak tersebut sangat membutuhkan sentuhan lembut kasih sayang seorang ibu dikarenakan usia anak yang masih balita dan dapat memelihara anaknya secara baik hingga dewasa, dengan mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang baik dan dipupuk dari sejak dini dengan keperibadian yang baik hingga ia dapat menentukan sebuah pilihan hidupnya.

Keputusan hakim tidak diterima oleh suami karena hak asuh anaknya jatuh ke tangan mantan isteri, sedangkan isteri merasa senang dengan apa yang diputuskan hakim[67]. Isteri berpendapat jika hak asuh anak dibawah umur jatuh ketangan suami sangat tidak logis, karena anak dibawah umur sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu karean kasih sayang yang diberikan seorang ayah sangatlah berbeda daripada  seorang ibu[68].

Meskipun pengadilan telah menetapkan salah satu orang tua mempunyai hak penguasaan anak , ini tidak berarti orang tua tersebut dapat bertindak penuh atau berkuasa penuh atas diri si anak. Pasal 14 Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan “setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.” Dalam penjelasan ditegaskan bahwa, “pemisahan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak menghilangkan hubungan anak dengan orang tuanya[69].”

Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa banyak nya sengketa tentang pemeliharaan hak asuh anak, dan sebagian orang tua tidak mengetahui mengenai pengaturan hukum terhadap Hak asuh anak dibawah umur, mereka mengetahui tapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya.

Permasalahan yang sering muncul pasca perceraian lebih disebabkan kekurangdewasaan masing-masing pihak dalam menyikapi perceraiannya, terlebih jika perceraian dibumbui dengan konflik yang saling menyakiti baik fisik, verbal, emosi, maupun yang lainnya.

Penilaian buruk dari masing-masing pihak sering memberi kesan kepada anak bahwa kedua orang tua mereka memang seburuk yang dikatakan oleh masing-masing orang tuanya. Jika pada akhirnya anak menjdai kurang hormat kepada kedua orang tua nya, itu hanyalah hasil dari nilai yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya juga.

Perebutan harta gono-gini juga sering menjadi pemicu konflik yang tidak berkesudahan yang pada akhirnya akan dirasakan oleh anak juga[70].

Hak asuh anak dibawah umur secara psikologis berhak di asuh oleh ibunya, karena ibu yang lebih mengetahui dan mengerti secara rinci apa yang harus dilakukan dalam memelihara anak yang masih dibawah umur, seperti air susu ibu (ASI) bagi anak yang masih membutuhkan, serta diperlukan sikap kelembutan dari seorang ibu dengan penuh kesabaran dalam menghadapi anak-anak dibawah umur yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dari seorang perempuan. Perbedaan dari cara asuh ibu dan bapak ialah bapak juga dapat memberikan kasih sayang, memelihara, mendidik, memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak, namun sebagian dari bapak,di satu sisi bapak memiliki sikap yang sangat kaku dalam menghadapi anak dan kurang memahami dan mengerti bagaimana masuk ke dunia anak yang masih sangat membutuhkan perhatian agar tidak salah didikan sejak dini. Kebanyakan bapak memberikan atau menuruti kemauan anak tanpa mengetahui bagaimana dampak terhadap pola pikir dan kebiasaan anak ke depannya.

Menurut keterangan di atas, tidak semua pasangan suami isteri yang melaksanakan peraturan yang telah ditentukan padahal masing-masing pasangan suami isteri mengetahui peraturan yang ada. Hal ini yang menyebabkan terlantar dan terabaikanya seorang anak.

 

2.    Pelaksanaan Hak Dan Kewajiban Orangtua Terhadap Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Terjadinya Perceraian

Hak dan kewajiban orang tua setelah terjadi nya perceraian merupakan peranan penting dan sangat berpengaruh untuk masa depan anak. Untuk itu diperlukan lah peraturan-peraturan untuk hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian mengenai hak dan kewajibannya.

Di Wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru memiliki peraturan-peraturan untuk memutuskan suatu perkara mengenai hak dan kewajiban apa saja yang harus di laksanakan oleh orang tua setelah perceraian.

Menurut  hasil wawancara penulis dengan majelis hakim pada tanggal 10 desember 2010 maka diketahui bahwa majelis hakim mengetahui tentang hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur[71].dan majelis hakim menambahkan bahwa perlindungan yang harus diperoleh anak ialah masalah pendidikan, nafkah dan hal – hal yang terkait pada Undang-undang perlindungan anak dari segi perdatanya saja dari kedua orangtua yang telah bercerai[72].

Pada Undang-undang  No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1) ditegaskan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab mengenai asuhan, pemeliharaan, dan melindungi anak serta menumbuh kembangkan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya[73].

Kedua orang tua wajib memberikan hak dan kewajiban terhadap anak dibawah umur sesuai dengan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur akibat putusnya perkawinan dengan menegaskan kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, sesuai kepentingan si anak dan bila ada perselisihan maka Pengadilan yang memberikan keputusan.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Majelis hakim Jika pihak ayah atau ibu tidak melaksanakan hak dan kewajibannnya maka maka salah satu pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut melalui pengadilan negeri[74].

Pada Pasal 230b Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi :

Dalam penetapan termaksud dalam ayat ke satu pasal 229, Pengadilan Negeri, setelah mendengar atau memanggil dengan sah seperti teratur pula dalam ayat tersebut, dan setelah mendengar Dewan Perwalian, jika kiranya ada kekhawatiran, bahwa si bapak atau si ibu yang tidak di angkat menjadi wali, tidak akan memberikan tunjangan secukupnya guna pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang belum dewasa boleh memerintahkan pula kepada orang tua itu supaya untuk keperluan tersebut tiap-tiap minggu, tiap-tiap bulan atau triwulan memberikan sejumlah uang, yang ditentukan pula dalam penetapan, kepada Dewan Perwalian[75].”

 

Sebuah gugatan perceraian tidak selalu diikuti dengan permohonan hak pengasuhan anak. Dapat dilihat pada ketentuan Pasl 41 huruf a Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan si anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak , pengadilan memberi keputusannya.

Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak dapat diartikan secara hukum, bahwa permohonan hak asuh/penguasaan anak hanya ada setelah perceraian dikabulkan oleh pengadilan dan memilki kekuatan hukum yang tetap. Mengacu pada ketentuan Pasal 41 huruf a diatas, dapat dipahami bahwa dalam kasus perceraian tidak harus diikuti dengan permohonan penguasaan/hak pengasuhan anak. Sesungguhnya hak pengasuhan anak dan perceraian adalah dua masalah hukum yang berbeda.

Jika dibedakan menjadi dua sisi antara perceraian dan hak asuh anak, perceraian bisa terjadi karena alasan-alasan yang sudah di uraikan di bagian sebelumnya. Sementara sebuah tuntutan akan hak asuh anak dilakukan karena salah satu orang tua tersebut telah mengabaikan ketentuan tentang “ Hak dan Kewajiban sebagai orang tua.” Kewajiban sebagai orangtua diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Berikut adalah aturan hukum Indonesia.

1.      Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya.

2.      Ia berlakuan buruk sekali.

3.      Tidak bertanggung jawab untuk hal-hal dibawah ini;

1.      Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

2.      Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

3.      Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Penggabungan proses perceraian pemeliharaan anak dan perceraian ialah untu menyederhanakan proses dan menghindarkan putusan yang saling bertentangan. Praktik ini juga membuat proses peradilan menjadi lebih sederhana, cepat, dan murah. Namun, pengadilan dalam menggabungkan perkara antara perceraian dengan permohonan pengalihan penguasaan/hak asuh anak dalam suatu gugatan, sepanjang dalam gugatannya, penggugat dapat menguraikan sebab dan akibat antara kedua permasalahan tersebut, serta dibuktikan berdasarkan fakta-fakta[76].

Dalam hal persengketaan hak pengasuhan anak, setelah putusnya perkara salah satu pihak selalu ada yang tidak setuju dengan apa yang telah diputuskan, sehingga demikian Pengadilan negeri masih bisa menerima dan mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perkara tersebut dengan adanya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri tersebut.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Majelis hakim bahwa masih mempunyai wewenang untuk menyelesaikan perkara jika salah satu pihak ayah atau ibu tidak menjalankan hak dan kewajibannya, sepanjang salah satu pihak yang merasa berkepentingan terhadap hak-hak anak mengajukan gugatan melalui Pengadilan Negeri yang berhak mengadili[77].

Hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur terkadang tidak terlaksana sebagaimana yang telah diputuskan oleh majelis hakim. Setelah terjadinya perceraian mayoritas dari pasangan suami isteri yang bercerai selalu memepersengketakan masalah hak untuk mengasuh anak dibawah umur dengan cara tidak efektif, padahal bentuk dari penyelesaian persengketaan itu dapat dilakukan dengan cara lain yang lebih efektif.

Menurut hasil wawancara dengan Majelis hakim bentuk penyelesaian dari jika salah satu dari ayah atau ibu tidak melakukan hak dan kewajibanya yaitu mediasi atau perdamaian diluar pengadilan, jika mediasi tidak berhasil maka dilanjutkan ke pengadilan dan majelis hakim akan memberikan keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum dan kepatutan[78].

Pasca perceraian, secara umum, anak berhak mendapat:
  1. Kasih sayang, meskipun orangtua sudah bercerai. Anak harus tetap mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan siapa dia akan tinggal
Setelah bercerai, banyak anak yang tidak mendapatkan kasih sayang secara penuh akibat keegoisan dari orang tua itu sendiri. Sehingga menumbuhkan rasa ketakutan dari anak tersebut terhadap salah satu orang tua nya yang tidak memiliki kuasa secara penuh. Dalam hal anak yang telah dewasa dapat menentukan pilihan kepada siapa ia akan tinggal, namun pada anak yang belum dewasa dapat ditentukan oleh Majelis hakim, pada putusan Perceraian kepada yang dianggap mampu memelihara, mendidik anaknya hingga dewasa (anak tersebut dapat menentukan kepada siapa ia akan tinggal selanjutnya).
2.      Pendidikan.
            Memberikan pendidikan yang layak untuk anak tersebut, seperti memasukan anak tersebut ke tempat pendidikan (sekolah), memberikan pelajaran spiritual (agama), memberikan pelajaran tata karma, etika dan moral si anak agar ank tersebut dapat bersosialisai dengan baik terhadap lingkungan disekitarnya.
  1. Perhatian kesehatan
Memberikan perlindungan kesehatan baik segi fisik maupun non fisik, perlindungan segi fisik disini merupakan menjaga agar anak tidak terkena penyakit atau menjaga kesehatan nya dengan memberikan vitamin yang terjauhi dari penyakit.
  1. Tempat tinggal yang layak
Memberikan tempat tinggal yang layak, yang nyaman bagi anak sehingga anak dapat merasakan tempat tersebut bukanlah suatu tempat yang berbeda dengan sebelumnya  meskipun kedua orang tua nya telah bercerai. Diperlukannya kerja sama yang baik dari kedua orang tua, karena dari tempat tinggal yang berbeda akan lebih mempengaruhi pemkiran anak, dikarenakan si anak tinggal hanya dengan salah satu orang tuanya dan mungkin di tempat yang berbeda dan suasana yang berbeda.
Keempat unsur dasar di atas harus dipenuhi oleh orangtua terhadap anak, jika mereka bercerai. Tetapi tidak bisa dipungkiri pula, jika ada orangtuanya bercerai, maka salah satu pihak tidak memenuhi hak-hak anak, sehingga hak-hak anak tersebut terabaikan. Untuk kondisi seperti ini, sang orangtua bisa saja mendapat sanksi sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditetapkan pada saat proses perceraian dilakukan. Namun, tidak sedikit pula keluarga yang menyelesaikan sengketa perceraian mereka dengan cara damai dan kekeluargaan, misalnya dengan melibatkan lembaga gampong, seperti geuchik, imum gampong dan keluarga ini untuk kemudian membicarakan kewajiban-kewajiban orang tua setelah bercerai terhadap anak-anak mereka. Walaupun demikian, penyelesaian secara kekeluargaan ini masih memiliki satu kelemahan, yakni dalam hal monitoring atau pengawasan. Setelah dibuat kesepakatan, bisa saja salah satu dari pasangan orangtua yang sudah bercerai ini tidak menjalankan kesepakatannya sehingga tidak ada sanksi yang bisa diterapkan. Terlebih lagi, jika pasangan orangtua ini menikah secara siri, tambah Ayu. Dalam kasus ini, tidak akan ada dokumen sah dan lengkap yang harus dipertanggungjawabkan jika mereka kemudian memutuskan untuk bercerai.
Perceraian selalu saja merupakan rentetan goncangan-goncangan yang menggoreskan luka batin yang dalam bagi mereka yang terlibat, terutama anak-anak. Sekalipun perceraian tersebut dapat diselesaikan dengan baik dan damai oleh orangtuanya, hal itu tetap saja menimbulkan masalah bagi anak-anak mereka. Reaksi anak akan berbeda-beda terhadap perceraian orangtuanya. Semua tergantung pada umur, intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadi perceraian.
Setiap anak menanggung penderitaan dan kesusahan dengan kadar yang berbeda-beda. Anak-anak yang orangtuanya bercerai, terutama yang sudah berusia sekolah atau remaja, biasanya akan merasa ikut bersalah dan bertanggung jawab atas kejadian itu. Mereka juga merasa khawatir terhadap akibat buruk yang akan menimpa mereka. Adakalanya bagi sebagian anak, perceraian merupakan kehancuran keluarga yang akan mengacaukan kehidupan mereka. Paling tidak perceraian tersebut menyebabkan munculnya rasa cemas terhadap kehidupan mereka di masa kini dan di masa depan.
Anak-anak yang orang tuanya bercerai sangat menderita, dan mungkin lebih menderita daripada orangtuanya sendiri. Keterlibatan pemerintah juga sangat diperlukan untuk memberikan solusi terbaik terhadap anak-anak korban perceraian untuk memastikan hak-hak mereka selaku anak bisa dipertahankan. Membuat aturan yang lebih ketat dalam proses perceraian di pengadilan bisa menjadi salah satu alternatif bagi perlindungan terhadap anak. Dengan demikian maka keluarga sangat dibutuhkan oleh setiap anak karena dalam keluargalah anak akan tumbuh dan berkembang secara baik. Mereka akan mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang sepenuhnya dariorangtua mereka[79].

Menurut hasil wawancara dengan 7(tujuh) pasang suami isteri terdapat jawaban yang sama yaitu sama-sama mengetahui hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur akibat perceraian[80].

Saat proses perceraian masih berjalan di Pengadilan, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk memelihara, mendidikan, mengasuh dan merawat anaknya tersebut. hal ini terdapat dalam pasal 45 Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :

(1)          Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

(2)          Kewajiban orang tua yang di maksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus[81]

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 tersebut, selama perceraian belum di putus, kedua orang tua tetap berkewajiban untuk menanggung segala kebutuhan anaknya. Tidak ada yang lebih berhak dan tidak ada pula yang dapat menyatakan tidak berhak menanggung kebutuhan anak.

Pengadilan dapat pula memberi keputusan tentang siapa diantara mereka berdua yang menguasai anak yakni memelihara dan mendidiknya, apabila ada perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga didasarkan kepada kepentingan anak. Dalam Pasal 47 dinyatakan seperti berikut:
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Apabila orangtua melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orangtua dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
Menurut M.Yahya Harahap menjelaskan bahwa :
Orangtua yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orangtua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuh hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit udzur atau gila dan kepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai seorang pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik[82].

Dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam hal orangtua anak tidak cakap melakukan perbuatan hukum, atau tidak diketahui tempat tinggal atau keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan[83].

Menurut hasil wawancara Pada pasangan pertama berpendapat bahwa si ayah telah memberikan hak dan kewajibannya terhadap anaknya, namun pada pihak ibu tidak melakukan hak dan kewajibannya di karenakan susahnya bertemu si anak tersebut[84].

Tidak semua orangtua yang dapat memberikan hak untuk pengasuhan anak mengenai hak dan kewajiban, karena adanya keterbatasan salah satu pihak orang tua melarang anaknya untuk bertemu salah satu pihak orang tua yang tidak memilki kuasa penuh. Keterbatasan yang diberikan oleh salah satu orang tua terhadap salah satu orang tua yang tidak memiliki kuasa secara penuh sangat tidak lazim untuk dilaksanakan, karena setelah terjadinya perceraian, dapat dikatakan bahwa hanya perkawinan lah yang diputuskan bukan hubungan antara orang tua dan anak, dengan terjadinya keterbatasan ini akibatnya membawa negatif terhadap anak, yaitu psikologis anak yang terabaikan atau terlantarkan.

Pelaksanaan pengasuhan anak, dalam lingkup hak dan kewajiban banyak menimbulkan masalah, akibat dari anak tersebut di asuh oleh salah satu pihak yang memiliki kuasa penuh sehingga menimbulkan kendala-kendala bagi pihak yang tidak mengasuh anak tersebut secara penuh. Hal ini dikarenakan pasangan suami isteri yang telah bercerai tidak dapat bekerja sama dengan baik dalam memelihara anak tersebut.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan pasangan suami isteri pertama dalam melaksanakan pengasuhan anak dibawah umur tidak memiliki kendala bagi pihak suami, sedangkan bagi pihak isteri memiliki kendala karena keterbatasan untuk bisa memelihara atau bertemu anaknya[85].

Dampak negatif dari keterbatasannya pertemuan antara salah satu pihak orang tua yang tidak memilki hak pengasuhan penuh adalah kepada anak tersebut, yang memepengaruhi mental dan menumbuhkan rasa tanda tanya yang sangat besar yang mempengaruhi perkembangan pola pikir anak tersebut.

Agar tidak tumbuhnya pola pikir yang tidak baik terhadap anak tersebut, seharusnya orang tua dapat mencari bentuk penyelesaian jalan yang terbaik demi kepentingan si anak yang lebih bisa diterima oleh anak sehingga tidak adanya bentuk negatif yang memepengaruhi anak tersebut.

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan pasangan suami isteri pertama, bentuk penyelesaian dari masalah tersebut suami berkata hanya kepada dialah anak tersebut akan bahagia, sedangkan pihak ibu berpendapat penyelesaian yang terbaik merupakan kerjasama dari antara kedua mantan suami isteri dalam merawat, memelihara dan mendidik anak-anak hingga dewasa[86].

Dalam hal penyelesaian bentuk dari masalah hak asuh anak ini merupakan kerjasama yang baik antara kedua orang tua agar tidak menumbuhkan pengaruh negatif terhadap anak. Kerjasama yang dimaksud disini ialah sama-sama memberikan nafkah, mendidik dan memelihara tanpa menanamkan sifat tercela kepada si anak bahwa perceraian yang dilakukan kedua orang tua itu adalah hal terburuk dan hal yang menakutkan, sehingga adanya rasa kebencian yang timbul dari pemikiran anak terhadap salah satu orang tuanya.

Menurut hasil wawancara Pada pasangan pihak kedua, pihak ayah telah memberikan hak dan kewajiban terhadap si anak hanya berselang 2(dua) bulan dikarenakan anak tersebut dibawa oleh mantan isteri keluar kota Pekanbaru tanpa sepengetahuan pihak suami, sedangkan isteri berpendapat hak dan kewajiban itu akan dipenuhi untuk anaknya[87].

Bagi pihak suami tidak memperbolehkan anak tersebut bertemu dengan ibunya karena akan mempengaruhi mental si anak dengan kelakuan ibunya yang tidak bisa memelihara, mendidik anak tersebut. Kendala yang didapat dalam melaksanakan hak dan kewajiban ialah pihak ayah tidak dapat atau tersendat untuk merawat anak tersebut karena anak tersebut dibawa kabur oleh ibunya[88].

Adapun bentuk dari penyelesaian sengketa pengasuhan anak ini dapat melalui mediasi, yaitu perdamaian di luar Pengadilan, namun hal ini jarang dapat dilaksanakan, karena dianggap kurang konkrit,bahkan pada kenyataannya mediasi yang dilakukan banyak yang tidak membuahkan hasil dan mencapai titik temu sehingga menimbulkan masalah baru dari kedua belah pihak, sehingga pasangan suami isteri tersebut langsung melanjutkan ke pengadilan dan lebih memilih menunggu keputusan dari Majelis Hakim yang dianggap lebih jelas, konkrit, dan pasti.

 Bentuk penyelesaian yang ada di perlukan nya mediasi dari keduabelah pihak agar dapat diselesaikan, jika tidak mantan suami ingin memperkara kan kembali atau mengajukan tuntutan kembali terhadap isteri karena telah membawa anak tersebut tanpa sepengetahuan mantan suami dan tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim bahwa hak pengasuhan anak jatuh kepihak suami[89].

Dalam hal kekuasaan orangtua terhadap anak setelah terjadinya perceraian dalam Pasal 300 KUHPerdata disebutkan bahwa kecuali jika terjadi pelepasan dan atau berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, si ayah sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Selanjutnya ditentukan bahwa bila si ayah dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orangtua, kekuasaan itu dilakukan oleh si ibu, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Pada ayat (2) disebutkan pula bila si ibu ini juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan Pasal 359.

Ketentuan Pasal 300 KUHPerdata tersebut diatas dimaksudkan karena ada kekhawatiran bahwa tidak ada persesuaian antara ayah dan ibu dalam hal kekuasaan orangtua, sehingga pihak ketiga, hakimlah yang harus turut campur[90].

Menurut hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh pihak ayah dan ibu telah memberikan hak dan kewajibannya[91]. Pihak mantan isteri  memperbolehkan mantan suami bertemu dengan anaknya dengan adanya batasan- batasan, kendala disini tidak begitu rumit menurut isteri karena ia diberi kewenangan dan keleluasaan memelihara anaknya lebih spesifik, namun sedikit rumit bagi pihak suami karena suami menginginkan lebih merawat anak nya setiap hari tanpa batasan[92].

Menurut hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat dan ketujuh mantan suami hampir dikatakan tidak memberikan nafkah, karena nafkah yang diberikan untuk anak tersendat-sendat dan tidak rutin[93].

Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Pasal 41 ayat (2) menegaskan bahwa bapak lah yang memiliki tanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan si anak tersebut, namun jika bapak terbukti tidak dapat untuk memenuhi kewajiban tersebut maka pihak Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut[94].

Menurut hasil wawancara yang penulis lakukan dengan pasangan kelima dan keenam memberikan nafkah secara rutin pada anak tersebut[95].

Adapun bentuk penyelesaian menurut mantan suami dan isteri ini merupakan perdamaian dengan menjalankan kerjasama yang baik dalam hal melaksanakan hak dan kewajiban untuk anak tersebut hingga tidak adanya batasan untuk salah satu pihak bertemu dengan anak nya[96].

Kekuasaan orangtua pada prinsipnya meliputi :

a.       Kekuasaan terhadap pribadi seorang anak

Kekuasaan pribadi merupakan adanya ikatan darah antara orangtua dan anak yang wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilngan hak untuk memangku kekuasaan orangtua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu terhadap anak-anak yang telah dewasa.

b.      Kekuasaan terhadap harta kekayaan seorang anak

Setiap pemangku kekuasaan orang tua terhadap seorang anak yang belum dewasa harus mengurus harta kekayaan anak itu[97].

 

 

BAB IV

PENUTUP

 

A.  Kesimpulan

Setelah menguraikan bab-bab sebelumnya diatas yang berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan. Maka sampailah penulis pada bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran dari pembahasan  permasalahan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1.      Pengaturan hukum terhadap hak asuh anak dibawah umur di wilayah hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru belum seluruh nya sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Tentang Perkawinan No 1 Tahun 1974 serta Undang-undang yang berkaitan dengan hal pengasuhan anak dibawah umur. Hak asuh anak dibawah umur terdapat pada 2 (dua) pasangan yang jatuh ke pihak bapak dan 5 (lima) pasangan orangtua jatuh ke pihak ibu, namun kedua ibu dan bapak tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam memelihara, mendidik anak-anak mereka hingga dewasa. Hal ini tidak diterapkan dengan sedemikian rupa, karena semakin banyak menimbulkan masalah, dan adanya keterbatasan untuk bertemu antara salah satu pihak baik ibu ataupun bapak dengan anak. Dapat disimpulkan hal tersebut tidak mematuhi dan menghormati peraturan yang telah di putuskan oleh majelis hakim.

2.      Pelaksanaan hak dan kewajiban orangtua terhadap anak dibawah umur setelah terjadinya perceraian memiliki banyak nya masalah, karena terdapat 2(dua)pasangan hak asuh anak jatuh kepada pihak bapak yang dapat memberikan hak dan kewajibannya dan pada pasangan pertama tidak memiliki kendala karena pihak bapak dapat menafkahi dan memelihara anak tersebut hingga dewasa dan pihak pasangan kedua memiliki kendala dikarenakan anak tersebut dibawa oleh pihak ibu tanpa sepengetahuan pihak bapak, sedangkan 5(lima) pasangan jatuh ke pihak ibu yang dapat memberikan hak dan kewajiban terhadap anak dengan tidak memiliki kendala yang rumit karena diberikan keleluasaan untuk mengasuh anak tersebut. Dari kelima pasangan ini hanya 2 (dua) dari pihak bapak yang memberikan nafkah rutin terhadap kelangsungan hidup anak. Dari ketujuh responden sama-sama memberikan batasan-batasan bagi salah satu pihak baik ibu atau bapak untuk bertemu anak tersebut. Hal ini tidak menjalan kan peraturan yang telah diberikan dan yang telah diputuskan oleh majelis hakim, bahwa meskipun kedua orangtua bercerai, kedua orangtua wajib memberikan hak dan kewajiban kepada anak tersebut dengan kerjasama yang baik, tanpa adanya masalah

 

 

 

 

B.  Saran

Setelah menguraikan dari pernyataan-penyataan yang di atas, penulis ingin memberikan saran-saran kepada masing-masing responden yang hanya pasangan suami isteri sebagai berikut :

1.    Sebaiknya kepada suami dan isteri melaksanakan aturan hukum yang telah ada, dan melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim, dan juga mempunyai kerjasama yang baik antara kedua pasangan terhadap anak, sehingga tidak adanya keterbatasan salah satu orang tua yang tidak memiliki kuasa secara penuh untuk bertemu anaknya.

2.    Kepada pasangan suami isteri meskipun telah bercerai hendaknya melaksanakan hak dan kewajibannya terhadap anak yang masih dibawah umur dengan memberikan kasih sayang kepada anak, Memelihara dan mendidik anak dibawah umur tersebut hingga ia dewasa, Menafkahi kelangsungan hidup anak, Memberikan pendidikan dan kesehatan yang bermutu, Memberikan perlindungan dari bahaya dan ancaman terhadap jiwa anak, Memberikan kesempatan yang tidak terbatas bagi anak untuk bertemu ibu atau bapak setelah perceraian.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

1.      Buku – buku

Abd Thalib dan Admiral, Hukum Keluarga Dan Perikatan, UIR Press, Pekanbaru, 2008.

Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007.

Budinah joesoef, Dilema Perceraian, Arcan, Jakarta, 1991.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke empat , PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.

Djaja S.Meliala,Perkembangan hukum perdata tentang orang dan hukum keluarga Cetakan Kedua, CV.Nuansa Aulia,bandung, 2007.

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, PT.Bina Aksara, Jakarta, 1987.


Fatchiah E Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, Salemba Humanika,Jakarta, ,2009.

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990.

H.M Djamil Latif., Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Balai Aksara Dan Yudistira, Jakarta, 1981.

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak Cetakan Pertama, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

KH.Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam, Uii Press Yogyakarta, Yogyakarta,1999.

M.Anshary.MK,Hukum Perkawinan Indonesia, Pustaka Belajar, Yogyakarta,2010.

M. Enoch Makrum, Anak, keluarga dan Masyarakat, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991.

Moh.Shocib, Pola Asuh Orang Tua cetakan pertama, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Nm. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga,Raih Asa Sukses, Jakarta,2010,

Rachmadi Usman,aspek – aspek hukum perorangan dan kekeluargaan di Indonesia cetakan pertama ,sinar grafika, Jakarta, 2006.

Rika Saraswati,Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.

R.Subekti, Kitab Undang – undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996.

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta,2005.

V.Dwiyani,Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri, PT.Alex Media Komputindo, Jakarta,2009.

2.      Peraturan Perundang –undangan

Undang – undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang – undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam.

Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


3.      Internet



4.        Sumber lainya

Mahawisnu Tridaya Alam,Hak Asuh Anak Dan Harta Gono Gini Dalam Perceraian,Artikel hukum

.






Lampiran I
WAWANCARA

Dilakukan dengan Majelis Hakim
Terimakasih sebelumnya penulis ucapkan kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang berguna bagi skripsi penulis dengan judul : “Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru”. Yang mana pertanyaan sebagai berikut :
1.      Apakah Majelis Hakim Pernah Menangani Perkara Hak Asuh Anak dibawah umur?
2.      Apakah pernah terdapat sengketa dalam perkara hak asuh anak dibawah umur?
3.      Apa saja sengketa yang timbul dari perkara hak asuh anak tersebut?
4.      Bagaimana pelaksanaan hak pengasuhan anak yang ada di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru?
5.      Apa dasar pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara hak asuh anak dibawah umur?
6.      Apakah majelis hakim mengetahui tentang adanya aturan pengaturan hukum terhadap hak asuh anak dibawah umur?
7.      Apa saja pengaturan hukum yang berlaku tentang pengasuhan anak dibawah umur?
8.      Apakah majelis hakim mengetahui tentang hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur?
9.      Apa bentuk hak perlindungan yang harus di peroleh si anak dari kedua orang tuanya?
10.  Bagaimana jika pihak ayah atau ibu tidak melaksanakan hak dan kewajibannya?
11.  Apakah majelis hakim masih mempunyai wewenang untuk menyelesaikannya?
12.  Apa bentuk penyelesaiannya jika kedua orang tua atau salah satunya tidak melaksanakan hak dan kewajibannya?




















Lampiran II

WAWANCARA
Dilakukan dengan Pasangan suami dan isteri
Terimakasih sebelumnya penulis ucapkan kepada Bapak  dan Ibu yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi yang berguna bagi skripsi penulis dengan judul : “Tinjauan Terhadap Pengaturan Hukum Hak Asuh Anak Dibawah Umur Akibat Perceraian Diwilayah Hukum Pengadilan Negeri Pekanbaru”. Yang mana pertanyaan sebagai berikut :

Pihak Suami
1.      Apakah saudara pernah bercerai di pengadilan negeri pekanbaru?
2.      Apakah saudara pernah memepermasalahkan tentang hak asuh anak dibawah umur?
3.      Apa saja masalah yang ada dalam perkara hak asuh anak tersebut?
4.      Bagaiman menurut saudara tentang pelaksanaan hak asuh anak dibawha umur tersebut?
5.      Apakah saudara setuju dengan pertimbangan hakim yang telah diputuskan ?
6.      apakah saudara mengetahui hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur setelah perceraian?
7.      Apakah saudara sudah memberikan hak dan kewajiban terhadap si anak?
8.      Apakah saudara memperbolehkan atau mengizinkan si anak bertemu dengan ibunya?
9.      Apa kendala yang terdapat dalam menjalankan hak dan kewajiban hak asuh anak dibawah umur?
10.  Menurut saudara apa bentuk penyelesaian dari kendala hak asuh anak dibawah umur?
Pihak Isteri
Isteri
1.      Apakah saudara pernah bercerai di pengadilan negeri pekanbaru?
2.      Apakah saudara pernah mempermasalahkan tentang hak asuh anak dibawah umur?
3.      Apa saja masalah yang ada dalam perkara hak asuh anak dibawah umur?
4.      Bagaimana menurut bapak tentang pelaksanaan hak asuh anak dibawah umur tersebut?
5.      Apakah saudara setuju dengan pertimbangan hakim yang telah diputuskan?
6.      Bagaimana pendapat saudara jika hak asuh anak dibawah umur jatuh kepihak bapak?
7.      apakah saudara mengetahui hak dan kewajiban terhadap hak asuh anak dibawah umur setelah perceraian?
8.      Apakah saudara sudah memberikan hak dan kewajiban terhadap si anak?
9.      Apakah saudara memperbolehkan atau mengizinkan si anak bertemu dengan bapaknya?
10.  Apakah bapak memberikan nafkah kepada anaknya?
11.  Apa kendala yang terdapat dalam menjalankan hak dan kewajiban hak asuh anak dibawah umur?
12.  Menurut saudara apa bentuk penyelesaian dari kendala hak asuh anak dibawah umur?




[1] H.M Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian Di Indonesia, Jakarta, Balai Aksara Dan Yudistira, 1981, hlm. 12.
[2] M.Anshary MK,Hukum Perkawinan Indonesia,Yogyakarta,Pustaka Belajar,2010,hlm. 105.
[3] Ibid,hlm 106.
[4] Budinah Joesoef, Dilema Perceraian, Jakarta, Arcan, 1991, hlm. 71.
[5] M. Enoch Makrum, Anak, keluarga dan Masyarakat, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1991,hlm. 42.
[6] Moh.Shocib,Pola Asuh Orang Tua,cetakan pertama,Jakarta,PT.Rineka Cipta,2000,hlm. 18
[7] Irma Setyowati Soemitro,Aspek Hukum Perlindungan Anak,Bumi Aksara,Cetakan Pertama,1990,hlm. 12
[8] Ibid. hlm. 377
[9] Departemen Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, Edisi Ke empat, 2008, hlm. 1470.
[10] Ibid, hlm. 472.
[11] Ibid., hlm. 510.
[12] Ibid. hlm. 474.
[13] Ibid. hlm. 96.
[14] Ibid. hlm. 55.
[15] Ibid.  hlm. 151.
[16] Ibid. hlm. 1526.
[17] Ibid, hlm. 1562.
[18] Ibid, hlm. 10.
[19] Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Jakarta, PT.Bina Aksara, 1987,Hlm. 13
[20] Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm.311
[21] Rachmadi Usman,Aspek –aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,Sinar Grafika,Cetakan Pertama,Jakarta,2006,hlm. 368
[22] R. Subekti,Kitab Undang –undang Hukum Perdata,Jakarta,PT.Pradnya Paramita,cetakan ketiga puluh delapan,2007,hlm. 61
[23] Koenjtoroningrat yang dikutip oleh surjono soekanto.
[24] Op.cit,R.Subekti, hlm. 55.
[25] Op.cit,R.Subekti, hlm. 46.
[26] Fatchiah E Kertamuda, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia,Jakarta,Salemba Humanika,2009.
[27] Ibid,hlm. 105-108.
[28] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta, PT.Rineka Cipta, 1991, Hlm. 6
[29] Op.cit Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika,Hlm. 194.
[30] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama,Bandung, Mandar Maju,1990,hlm. 138.
[31] Rika Saraswati,Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia,Bandung,PT.Citra Aditya Bakti, 2009,hlm. 26
[32] Mahawisnu Tridaya Alam,Hak Asuh Anak Dan Harta Gono Gini Dalam Perceraian,Artikel hukum
[33] Op.cit,Rachmadi Usman ,hlm. 352
[34] Op.cit,Rachmadi Usman ,hlm. 357

[35] Ibid,hlm. 145
[36] Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional,Jakarta,Rineka Cipta,2005,Hlm. 188
[37] Op.cit,Achie Sudiarti Luhulima,hlm. 286
[38] Ibid. hlm,352.
[39] KH.Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam,Yogyakarta,Uii Press Yogyakarta,1999, hlm. 103
[40] Op.cit,M.Anshary,hlm. 110.
[41] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[42] Pasal 246, ayat (1),Bab III Tentang Perikatan,Kitab Undang-undang Hukum Perdata
[43] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[44] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[45] Pasal 1,ayat 1,Bab I Tentang Dasar Perkawinan , Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.
[46] Op.cit, Rachmadi Usman, hlm. 399.
[47] Op.cit, Surjono Sukanto
[48] Op.cit, Hilman Hadikusuma, hlm. 168.
[49] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[50] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[51] Hasil wawancara dengan Majelis Hakim pada Tanggal 5 April 2011
[52] Hasil wawancara dengan Majelis Hakim pada  Tanggal 5 April 2011.
[53] Pasal 13, ayat 1, Bab III Tentang Hak dan Kewajiban Anak, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[54] Op.cit, R.Subekti,hlm. 56.
[55] Hasil wawancara dengan 7 (tujuh pasang suami isteri).
[56] Hasil wawancara dengan 7 (tujuh pasang suami isteri).
[57] Hasil wawancara dengan 7 (tujuh pasang suami isteri)
[58] Nm. Wahyu Kuncoro, Solusi Cerdas Menghadapi Kasus Keluarga, Jakarta, Raih Asa Sukses, 2010,hlm. 64.
[59] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[60] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[61] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[62] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[63] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[64] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[65] Op.cit, Nm. Wahyu Kuncoro,hlm. 64.
[66] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri ketiga,keempat,kelima,keenam dan ketujuh.
[67] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri ketiga,keempat,kelima,keenam dan ketujuh.
[68] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri ketiga,keempat,kelima,keenam dan ketujuh.
[69] Op.cit, Nm. Wahyu Kuncoro,hlm. 79.
[70] V.Dwiyani,Jika Aku Harus Mengasuh Anakku Seorang Diri,Jakarta,PT.Alex Media Komputindo,2009,hlm. xvii
[71] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[72] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[73] Pasal 26,ayat 1, Bab IV Tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang tua, Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
[74] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[75] Op.cit, R.Subekti, hlm. 56
[76] Op.cit, Nm. Wahyu Kuncoro,hlm. 62-63.
[77] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[78] Hasil wawancara dengan Mejelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Tanggal 10 Desember 2010.
[79] Lihat internet www.I.D.L.O, Mempertahankan anak setelah bercerai.
[80] Hasil wawancara dengan 7(tujuh) pasang suami isteri
[81] Pasal 45, ayat (1) dan (2), Bab X, Undang-undang No 1 Tahun 1974.
[82] Lihat internet http://repository.usu.ac.id.
[83] Pasal 33 ayat (1),Bab VII tentang PerwaliaN,Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
[84] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[85] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[86] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri pertama pada tanggal 7 november 2010.
[87] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[88] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[89] Hasil wawancara dengan pasangan suami isteri kedua pada tanggal 7 november 2010.
[90] Op.cit, R.Subekti,hlm. 73.
[91] Hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
[92] Hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
[93] Hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat, dan ketujuh.
[94] Pasal 41.ayat 1, Bab VIII tentang Putusnya perkawinan serta akibatnya, Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
[95] Hasil wawancara dengan pasangan kelima dan keenam.
[96] Hasil wawancara dengan pasangan ketiga, keempat, kelima, keenam dan ketujuh.
[97] Op.cit, Sudarsono, hlm. 24.